gbm.my.id – Kabar kepergian Bapak Yakob Nuwa Wea ke haribaan Ilahi menggugah hati saya untuk menulis tentang sosoknya. Namun, menuliskan jejak hidupnya bukanlah hal mudah. Saya tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, dan generasi kami pun berbeda. Hidup kami terpisah jauh. Andaikan saya besar di Jakarta atau Kota Keo, Nagekeo—kampung halamannya—atau jika kami seangkatan, mungkin saya akan lebih mengenalnya secara dekat. Bahkan, satu buku pun rasanya tak cukup untuk mengulas sosoknya.
Meski demikian, namanya sangat familiar di telinga saya. Dari berbagai media hingga percakapan dengan orang-orang Ngada di Jakarta serta teman-teman asal Ngada dan Nagekeo saat kuliah di Yogyakarta, nama Yakob Nuwa Wea kerap mencuat dalam cerita mereka.
Nama yang Melekat dalam Ingatan
Pertama kali saya mendengar namanya dalam perbincangan di rumah Om Sipri Ta’a di Pasar Rebo, Jakarta, saat saya berlibur dari Yogyakarta. Kebiasaan orang NTT di perantauan adalah selalu menanyakan kabar satu sama lain. Saat itu, saya berbincang akrab dengan Abang Ignaz W. Mudja, karena kami berasal dari almamater yang sama. Di sela obrolan kami, nama Yakob Nuwa Wea dan Yoseph Lea Wea disebutkan. Topik apa yang mempertemukan nama mereka dalam percakapan kami? Saya tidak lagi mengingatnya secara persis. Yang jelas, Wea bersaudara dikenal sebagai tokoh senior Ngada yang lama menetap di Jakarta.
Lebih jauh ke belakang, ketika saya masih duduk di bangku SMP dan SMA di St. Klaus Kuwu, setiap liburan sekolah saya habiskan di Nita, Maumere. Di sana, saya mengisi waktu dengan melahap surat kabar Kompas, Gatra, dan Tempo yang dibawa paman saya dari Seminari Tinggi Ritapiret. Nama Yakob Nuwa Wea beberapa kali menghiasi media-media tersebut. Salah satu peristiwa yang membekas di ingatan saya adalah konflik internal PDI antara Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri. Kala itu, Yakob Nuwa Wea muncul sebagai sosok yang berani “pasang badan” dalam pertikaian politik yang memanas.
Tiga Nilai Hidup yang Menginspirasi
Menelusuri jejak perjuangannya, saya menemukan tiga nilai hidup yang patut dijadikan warisan bagi generasi muda:
- Konsistensi. Yakob Nuwa Wea bukanlah sosok yang mudah berpaling dari jalan yang telah ia pilih. Latar belakang pendidikannya di bidang perburuhan membentuk pengabdiannya bagi kaum pekerja. Konsistensinya membawanya dari dunia perburuhan hingga menjadi politisi yang tetap peduli terhadap nasib buruh.
- Keberanian. Seorang mosalaki (pemimpin adat) sejati tak akan gentar menghadapi risiko. Yakob Nuwa Wea adalah gambaran nyata keberanian itu. Pada masa Orde Baru, saat intervensi kekuasaan begitu kuat dalam konflik internal PDI, ia memilih untuk berdiri tegak di tengah pusaran pertempuran politik. Aksi heroiknya dalam Kongres PDI di Medan masih membekas di benak banyak orang.
- Loyalitas. Kesetiaan adalah pilar utama bagi seseorang yang berprinsip. Yakob Nuwa Wea bukan hanya setia pada dunia perburuhan, tetapi juga pada PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri. Hanya orang yang memiliki loyalitas tinggi yang berani mempertaruhkan segalanya demi nilai-nilai yang diperjuangkan.
Warisan Seorang Pejuang
Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh almarhum Yakob Nuwa Wea merupakan inspirasi bagi banyak orang. Konsistensi, keberanian, dan loyalitas yang berpadu dengan kecerdasan telah mengantarkannya menjadi tokoh penting dalam perjalanan bangsa ini. Karier politiknya yang melejit hingga menduduki kursi menteri adalah bukti nyata bahwa tiga nilai ini adalah kunci kesuksesan.
Kini, ia telah pergi meninggalkan kita. Namun, jejak perjuangannya tetap hidup. Ia telah mengabdikan hidupnya bagi bangsa dan negara. Karena itu, pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah “Apa yang telah ia lakukan bagi suku bangsanya?”, melainkan “Apa yang telah ia lakukan bagi bangsanya—Indonesia?” Sebab, suku bangsa adalah bagian dari bangsa, tetapi bangsa adalah wadah yang menaungi semua suku.
Selamat jalan, Bapak Yakob Nuwa Wea. Semoga engkau damai di keabadian surga.***

