gbm.my.id – Langit senja di Ende berwarna jingga keemasan saat saya tiba dari Bajawa. Belum sempat kaki ini beristirahat, ponsel saya bergetar—sebuah pesan singkat dari Ansel menanyakan keberadaan saya. Sementara itu, Max sedang menikmati olahraga sore. Kami berjanji untuk bertemu malam nanti.

Malam yang hangat itu kami habiskan dengan berburu kuliner khas Ende. Pilihan jatuh pada sebuah warung di pertigaan Jalan Garuda yang terkenal dengan bebek gorengnya. Sayangnya, saya lupa mencatat namanya. Setelah perut terisi, Max mengeluarkan sebotol arak “bakar menyala.” Benar saja, saat disulut api, cairan itu menyala sejenak sebelum akhirnya kami nikmati bersama. Kata Max, arak ini membuat tubuh lebih ringan, tetapi yang saya rasakan justru gelisah. Esok pagi kami berencana ke Kelimutu, dan saya khawatir akan terlambat bangun.

Dan kekhawatiran itu menjadi nyata. Matahari sudah cukup tinggi ketika saya terjaga pukul enam. Alih-alih bergegas, saya malah melanjutkan tidur. Hingga akhirnya, bunyi SMS dari Ansel menyadarkan saya—waktunya berangkat! Dengan buru-buru saya bersiap, dan tepat pukul 08.00 WITA, motor kami mulai melaju meninggalkan Ende.

Di sepanjang jalan, angin sejuk menemani obrolan kami. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang di pagi itu. Hingga akhirnya, di Kilometer 17 Jalan Lintas Flores, sebuah batu besar berdiri kokoh di bibir jalan. Batu itu sudah tidak asing bagi saya yang sering melewati jalur ini sejak kecil, tetapi baru kali ini saya benar-benar memperhatikannya.

“Ka’e, ini titik pusat Pulau Flores,” ujar Ansel tiba-tiba.

“Ah, masa? Saya baru tahu,” sahut saya heran.

“Tapi bagaimana mereka bisa memastikan ini titik pusatnya?”

Pada batu itu, terdapat sebuah prasasti kecil bertuliskan Floresweg Geopeno 31 Agustus 1925. Konon, prasasti ini dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, bagi masyarakat setempat, batu ini bukan sekadar penanda sejarah. Mereka menyebutnya Watu Gamba, jelmaan seorang wanita cantik. Tak jauh dari situ, ada batu lain yang dikenal sebagai Rewa Nganggo, yang dipercaya sebagai jelmaan pria tampan. Konon, pasangan ini sering menampakkan diri di malam hari.

Mitos hanyalah satu sisi dari kisah Watu Gamba. Sisi lainnya adalah sejarah kelam kolonialisme. Batu ini menjadi saksi bisu bagaimana leluhur kita dipaksa bekerja membuka jalan lintas Flores di bawah tekanan penjajah. Bahkan hingga kini, batu ini tetap berdiri kokoh meski longsor kerap melanda daerah sekitarnya. Ketika gempa mengguncang Flores pada 1992, Watu Gamba tetap tak tergoyahkan.

Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah benar ada daya mistis yang menyelimutinya? Mungkin, jawabannya hanya bisa ditemukan jika Anda sendiri mengunjungi tempat ini. Jadi, jika suatu saat Anda melintasi jalan ini, jangan ragu untuk berhenti sejenak. Ambil gambar, rasakan auranya, dan buktikan bahwa Anda pernah berdiri di titik pusat Pulau Flores, di hadapan Watu Gamba yang penuh misteri.

Lebih dari sekadar mitos dan legenda, Watu Gamba menyimpan pesan bagi kita semua: bahwa sejarah dan budaya harus tetap dilestarikan. Batu ini menjadi pengingat bahwa setiap tempat memiliki kisahnya sendiri, yang jika tidak kita jaga, akan hilang ditelan waktu. Kisah tentang Watu Gamba juga mengajarkan kita untuk lebih menghargai warisan leluhur dan memahami bahwa di balik keindahan alam Flores, terdapat jejak perjuangan dan cerita yang tak boleh dilupakan. Jadi, mari kita menjaga dan menghormati setiap sudut tanah air kita, karena setiap batu, jalan, dan kisah yang menyertainya adalah bagian dari identitas bangsa.