gbm.my.id – Hujan baru saja mengguyur Rendu dengan derasnya. Kami terpaksa berteduh di rumah salah seorang guru, menunggu hujan reda. Waktu perlahan bergerak menuju senja. Langit mulai cerah, hanya menyisakan titik-titik gerimis yang turun dengan lembut.
Kami melangkah beriringan di bawah rintik hujan, meninggalkan Rendu menuju Mbay, kota yang memesona saat musim hujan tiba. Pak Paskalis, sahabat perjalanan saya, mengajak mampir ke rumahnya sejenak.
“Kita minum kopi dulu sebelum berangkat,” katanya.
Tawaran itu terlalu menggoda untuk ditolak, terutama setelah tubuh kami terasa dingin akibat hujan deras tadi.
Rumahnya terletak di sisi kanan jalan Aemali-Mbay, sementara di sisi kiri jalan menganga sebuah ngarai dalam dengan perkampungan di dasarnya. Ia memarkir motornya di teras, dan saya menaiki tangga menuju lantai dua. Dari ketinggian ini, pemandangan begitu memesona: Bukit Munde berdiri gagah di hadapan, sisa-sisa kabut menggelayut di lembah, menciptakan ilusi negeri di atas awan. Udara segar selepas hujan, hamparan hijau yang asri, dan angin lembut yang membawa aroma tanah basah membuat sore itu terasa magis.
Setelah menikmati kopi hangat, kami kembali ke perjalanan menuju Mbay. Namun, ketika melewati gerbang Kampung Adat Tutubadha, saya meminta Pak Paskalis untuk singgah sejenak. Saya ingin merasakan langsung atmosfer keheningan, keunikan, dan magisnya kampung tradisional ini.
“Kita lewat samping kampung saja,” ujar Pak Paskalis, mengarahkan langkah kami.
Saat tiba di salah satu pintu masuk, beberapa ibu tampak mandi di pancuran di tepi kampung. Tutubadha benar-benar mempertahankan keasliannya. Tak satu pun bangunan modern berdiri di dalamnya. Rumah-rumah modern hanya diperbolehkan berdiri di luar batas kampung, sementara rumah adat tetap kokoh dengan bahan alami dan lokal.
Halaman kampung luas membentang, ditutupi rerumputan hijau yang tampak seperti permadani alam. Batasnya berupa susunan batu yang tertata rapi, dan tak satu pun kendaraan diperbolehkan masuk. Saat kami melangkah lebih dalam, keheningan menyelimuti. Beberapa ibu duduk santai di beranda rumah mereka, sementara dua remaja putri bercengkerama di atas kubur batu yang berdiri di halaman kampung.
Menurut seorang warga yang saya ajak berbincang, Tutubadha dihuni oleh beberapa suku dari tanah Rendu, yakni suku Isa, Gaja, Malawawo, dan Re(n)du. Setiap suku terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut ‘woe’, dan masing-masing ‘woe’ memiliki rumah adat sendiri dengan nama yang berbeda-beda. Kampung ini pun menjadi rumah bagi beberapa ‘woe’ yang masih memegang erat tradisi leluhur mereka.
Berkunjung ke Tutubadha tak akan pernah mengecewakan. Wisatawan bisa menyewa pakaian adat untuk berfoto, menyaksikan tarian tradisional, dan bahkan melihat langsung pertunjukan heroik tinju adat yang disebut ‘etu’, ‘sudhu’, atau nama lain sesuai daerahnya. Namun, pengalaman ini hanya bisa dirasakan jika Anda mengetahui kalender adat dan ritual yang berlangsung di kampung ini.
Sebagai bentuk penghormatan, jangan lupa memberikan donasi dan mencatatkan nama di buku tamu yang tersedia di salah satu rumah adat. Tutubadha bukan sekadar kampung adat, ia adalah cerminan keagungan budaya Nagekeo yang terus hidup di bibir ngarai.***