gbm.my.id – Sudah lima kali saya menginjakkan kaki di kota ini. Waingapu bukan tempat yang asing bagi saya, namun ada satu hal yang belum pernah saya lakukan di sana: merayakan misa di Gereja Katolik. Entah karena kesibukan atau sekadar dalih malas, pengalaman itu selalu terlewat.

Namun, perjalanan kali ini berbeda. Sehari sebelumnya, saya mengingatkan diri untuk merayakan misa di kota ini. Suatu tekad yang ingin saya penuhi.

Selama sepekan di Waingapu, saya dan tim beberapa kali melewati Gereja Katolik Yesus Sang Penebus Wara dalam perjalanan menuju ‘kantor sementara’ kami di Kantor Bupati Sumba Timur. Awalnya saya menganggap ini hanya kebetulan. Namun, kenyataannya tidak. Dari Padatita Beach ke Kantor Bupati banyak rute alternatif. Seolah-olah ini adalah ‘alarm’ bagi saya untuk mengingat kembali niat awal.

Tibalah Minggu pagi, 16 Mei 2023. Seperti biasa, saya terjaga lebih awal. Setelah mandi dan berpakaian rapi, saya turun ke restoran hotel. Suasana masih lengang, hanya ada petugas dan sebuah keluarga kecil yang menikmati akhir pekan mereka. Saya menyeduh kopi dan duduk di meja favorit, memandangi laut lepas dengan samar-samar Pulau Flores dan puncak Inerie yang anggun di kejauhan. Angin laut Sawu menemani saya menyeruput kopi.

Namun, ada kegelisahan yang mengusik hati. “Bagaimana saya bisa sampai ke gereja?” tanya saya dalam hati. Tidak ada kendaraan yang saya persiapkan. Kegelisahan itu memaksa saya meninggalkan restoran dan menuju lobi hotel.

Di sana, saya melihat seorang petugas kebersihan berjalan menuju pos jaga. Saya mendekatinya dan bertanya, “Umbu, ada ojek di kawasan sini?”

“Tidak ada, Pak,” jawabnya dengan dialek khas Sumba.

Saat kami berbicara, seorang pengendara motor melintas dan menurunkan penumpang di area parkir hotel. Petugas itu mencoba menawari pengendara tersebut untuk mengantar saya, tetapi responnya biasa saja. Saya tetap menunggu di gerbang masuk, berharap ada solusi.

Ketika pengendara itu hendak pergi, saya memberanikan diri bertanya, “Umbu, bisa antar saya ke Gereja Katolik?”

“Oh, gereja Katolik Wara? Tapi saya bukan ojek,” jawabnya.

“Saya paham. Tapi, Umbu bisa bantu saya, kan?”

“Bisa.”

Begitulah cara saya akhirnya sampai di Gereja Katolik Yesus Sang Penebus Wara. Saat tiba, suasana masih sepi. Umat mulai berdatangan satu per satu. Saya mengambil tempat duduk di tengah dan menunggu misa dimulai.

Dentingan lonceng gereja menggema, menandai awal perayaan. Liturgi Sabda dibacakan, menceritakan kegelisahan dan ketakutan para rasul setelah kematian dan kebangkitan Yesus, serta kisah ketidakpercayaan Rasul Thomas. Kotbah imam hari itu menyampaikan tiga pesan utama:

  1. Kebangkitan Kristus adalah dasar iman kita. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “Jika tidak ada kebangkitan, maka sia-sialah iman kita.”
  2. Miliki keyakinan yang kokoh. Kecemasan dan ketakutan bukan alasan untuk berhenti mengimani Kristus, melainkan dorongan untuk mawas diri dan bangkit.
  3. Pewartaan sejati melalui keteladanan sehari-hari. Kristus adalah kasih, dan kita bisa mencerminkan kasih itu dalam berbagai bentuk kepada sesama.

Setelah misa usai, saya bergegas ke kamar kecil sebelum kembali ke dalam gereja. Saya tengah mencari spot yang tepat untuk mengambil foto kenang-kenangan ketika seorang bapak menghampiri saya.

“Tinggal di mana?” tanyanya.

Saya agak terkejut. Rupanya, umat di sini mudah mengenali orang baru. “Saya hanya bertugas di sini, Pak.”

“Menginap di mana?” lanjutnya.

“Hotel Padatita Beach.”

“Asalnya dari mana?”

“Kupang.”

“Ya, asli dari mana?”

“Flores.”

“Ngada?”

Saya mengangguk.

“Nama saya Thomas Ofong, asal dari Lembata,” katanya.

“Oh, masih keluarga dengan Pak Aleks Ofong?”

“Ya, dia adik saya.”

Saya tersenyum dan bercanda, “Nama Bapak disebut di seluruh dunia hari ini.”

Bapak Thomas tertawa. “Untung tadi pastor kotbah yang baik.”

Kemudian, ia menawarkan tumpangan kembali ke hotel. Saya mengiyakan dengan sopan, tetapi meminta izin untuk berdoa dulu. Saat saya berdoa, sekelompok remaja putri bergantian berfoto di altar. Saya pun ikut meminta tolong seorang dari mereka untuk mengabadikan momen saya di gereja ini.

Dua Thomas menghantar saya pada pengalaman unik hari itu. Kisah Rasul Thomas dalam Injil menggambarkan keraguan yang juga saya rasakan—keraguan bagaimana saya bisa sampai ke gereja. Namun, Tuhan selalu punya cara, melalui siapa dan apa pun, agar kita sampai pada tujuan. Saya belajar untuk lebih percaya, bahwa dalam hidup ini, kita tidak perlu cemas, resah, atau gelisah. Tuhan selalu hadir dengan caranya sendiri. (*)