gbm.my.id – Pagi itu, saya berselisih pendapat dengan seorang pramugari maskapai NAM Air. Masalahnya sederhana, hanya soal tongkat. Saat ia berdiri di samping saya dan mengingatkan untuk mematikan handphone, saya mengikutinya sesuai standar penerbangan. Namun, ketika saya berniat menyerahkan tongkat saya agar ia menyimpannya di kabin, pramugari itu menolak. Alasannya, tongkat saya terlalu panjang.

Saya terkejut. “Loh, selama ini biasanya pramugari mengambil tongkat saya. Standar prosedur yang benar bagaimana?”

“Oh, tidak bisa. Kecuali di pesawat Boeing. Karena tongkatnya panjang sehingga tidak bisa dimuat di kabin,” jawabnya.

Saya tetap bersikeras, “Ah, selama ini saya menumpang pesawat jenis ini aman-aman saja, kok.”

Namun, pramugari tetap pada pendiriannya. “Taruh saja di samping.”

Akhirnya, meski dengan suasana hati yang sedikit terkoyak, saya tetap melanjutkan perjalanan menuju kota Reinha. Pesawat kami pun mendarat di Bandara Gewayan Tana.

Ruang kedatangan bandara ini kecil, dengan kapasitas sekitar 50 orang yang sebagian besar harus berdiri. Saya menunggu di lorong menuju pintu keluar sementara Diva, Om Luiz, Pak Welem, Ibu Mery, dan Om Udin masih antre mengambil bagasi. Di saat itulah, seorang pria melintas di depan saya, mengenakan kaos hitam berkerah. Di punggungnya tertera tulisan mencolok: “Tuhan, Apa Agamamu?”

Sejenak saya tertegun. Siapa pria ini? Itu tak penting. Yang lebih menarik adalah pertanyaan di kaosnya yang menggelitik benak saya.

Pertanyaan itu bisa jadi lahir dari seorang filsuf yang ingin mengetahui keberpihakan Tuhan pada agama tertentu. Bisa juga dari seseorang yang jenuh dengan perselisihan agama, klaim-klaim eksklusif tentang Tuhan, dan segala hiruk-pikuk perebutan-Nya.

Tuhan di Antara Klaim Manusia

Saat ini, ruang publik dijejali perdebatan soal agama, iman, dan ketuhanan. Tuhan seolah menjadi komoditas yang laris diperjualbelikan. Tuhan ditarik-tarik ke dalam politik. Tuhan diperebutkan oleh berbagai kelompok, masing-masing merasa memilikinya secara eksklusif.

Lalu, apakah Tuhan benar-benar beragama?

Jika tidak, mengapa manusia menyebut diri mereka beragama demi keyakinan akan Tuhan? Jika Tuhan memang beragama, agama apakah yang Ia anut?

Dua kemungkinan muncul: Tuhan memiliki agama, atau justru manusia yang “mengagamakan” Tuhan. Sebagian orang mengklaim bahwa Tuhan berpihak pada agama mereka. Tuhan pun kerap diseret ke dalam berbagai agenda manusia. Seolah-olah Tuhan harus memiliki satu label tertentu, dan selain itu bukanlah Tuhan.

Namun, jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, agama sejatinya adalah produk manusia. Ia lahir dari kesaksian hidup yang meyakini sesuatu yang transenden, yang tertinggi, yang Maha Kuasa. Agama menjadi jalan untuk memahami yang tak tersentuh, untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Baik.

Tuhan adalah sumber dari segala agama. Namun, Ia tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Katolik, Islam, Protestan, Hindu, atau Buddha. Ia hanya mengajarkan kebaikan. Sebab, Ia adalah Maha Baik.

Sebuah Pertanyaan yang Menampar

“Tuhan, apa agama-Mu?”

Pertanyaan itu bukan sekadar kalimat di punggung kaos pria di bandara tadi. Ia adalah tamparan bagi kita semua. Terlalu sering kita menggunakan agama sebagai alat politik dan kekuasaan. Terlalu sering kita mengklaim bahwa Tuhan seagama dengan kita. Padahal, Tuhan tak pernah menyebutkan diri-Nya beragama apapun. Tuhan hanya ingin kita menjalankan kebaikan.

Lalu, jika Tuhan benar-benar menjawab pertanyaan itu, kira-kira apa agama-Nya?