gbm.my.id – Para pembuat arak mungkin tak memiliki basis pengetahuan kimia, tetapi mereka mampu memproduksi arak dengan kualitas baik. Mereka mungkin tak mengenal istilah destilasi, tetapi mereka mempraktikkan konsep itu secara alami. Dari tuak putih, mereka menyulingnya berkali-kali hingga menghasilkan arak berkualitas tinggi. Setetes demi setetes, uap yang mengembun berubah menjadi “Bakar Menyala,” level tertinggi arak yang dapat menyala ketika disulut api.

Proses ini adalah bukti bahwa pengetahuan tidak melulu didapat dari ruang kelas. Dengan kesabaran, daya tahan, dan keuletan, mereka menemukan formula terbaik tanpa harus memahami teori yang rumit. Practice makes perfect.

Analogi ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan Pancasila. Seperti arak yang melalui proses penyulingan bertahap, Pancasila juga lahir dari proses panjang. Sebelum menjadi falsafah negara, ia mengalami destilasi nilai-nilai budaya lokal, agama, pengetahuan, dan pergaulan sosial dunia. Proses penyaringan itu akhirnya merumuskan lima sila yang menjadi dasar negara.

Pancasila bukanlah sekadar kumpulan gagasan, tetapi kristalisasi nilai-nilai universal yang sudah dihayati manusia Indonesia jauh sebelum negara ini berdiri. Kita bersyukur memiliki Soekarno—pribadi cerdas, seniman, dan diplomat ulung. Namun, perjalanannya tidaklah mudah. Ia dibuang, dikucilkan, dan mengalami pergumulan panjang hingga akhirnya menghadirkan sesuatu yang besar bagi bangsa ini.

Permenungan di Ende: Titik Kulminasi

Pembuangan Soekarno ke Ende bukan kebetulan. Tanpa itu, mungkinkah Pancasila lahir? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi sejarah membuktikan bahwa pengalaman dan permenungan Soekarno di Ende menjadi titik kulminasi dalam perumusan Pancasila.

Di kota kecil ini, Soekarno menyaksikan langsung bagaimana masyarakat dari berbagai agama dan etnis hidup berdampingan dalam harmoni. Ia bergaul dan berdiskusi dengan para imam Katolik serta melihat kehidupan umat Islam, Kristen, dan Konghucu yang saling menghormati. Di bawah pohon sukun, ia merenungkan nasib bangsa yang tengah dijajah. Ia menyadari, tanpa ideologi pemersatu, Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.

Kesadaran inilah yang mengantarkan Soekarno pada satu kesimpulan: kekuatan sebuah bangsa tidak terletak pada senjata atau jumlah penduduknya, tetapi pada ideologi yang menyatukan. Pancasila menjadi perekat keberagaman, bukan untuk menyamakan perbedaan, tetapi untuk menghargainya.

Pancasila: Fondasi yang Mengakar Kuat

Seorang pemimpin dari Eropa pernah mengakui kehebatan Soekarno. “Negara saya memiliki pasukan besar, tetapi tetap terpecah. Sementara Indonesia hanya memiliki Pancasila, tetapi tetap utuh.”

Pernyataan ini bukan sekadar pujian. Ini adalah bukti nyata bagaimana Pancasila mampu menahan gempuran berbagai ancaman perpecahan. Meski selalu ada upaya untuk merongrong persatuan bangsa, hingga kini Indonesia tetap berdiri tegak.

Pancasila bukan sekadar dokumen berisi lima sila. Ia adalah hasil kristalisasi nilai-nilai luhur dari budaya dan agama yang telah lama dianut bangsa ini. Jika kita mengurai tiap sila, kita akan menemukan bahwa semuanya bersumber dari nilai-nilai universal yang sudah ada di nusantara sejak lama:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa – Semua agama mengajarkan bahwa Tuhan itu esa.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – Manusia, sebagai ciptaan tertinggi, harus diperlakukan dengan adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia – Tanpa persatuan, bangsa ini akan terpecah belah.
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan – Musyawarah untuk mufakat adalah nilai yang dipegang teguh oleh setiap suku di Indonesia.
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – Keadilan tidak berarti keseragaman, tetapi memberikan hak sesuai dengan porsi masing-masing.

Pancasila bukan agama baru, bukan pula ideologi yang dipaksakan. Ia adalah pemadatan dari nilai-nilai luhur yang telah lama ada.

Tantangan Masa Kini: Apakah Kita Masih Pancasilais?

Setiap 1 Juni, kita memperingati hari lahir Pancasila. Tetapi apakah kita benar-benar menghayatinya? Apakah kita masih setia pada nilai-nilainya?

Ironisnya, di saat kita bangga karena Ende adalah rahim yang melahirkan Pancasila, kita justru mencoreng nilai-nilai itu sendiri. Pernyataan rasis seorang pejabat di NTT baru-baru ini menjadi tamparan keras bagi kita. Bagaimana mungkin kita mengklaim sebagai rumah toleransi, sementara ada tokoh publik yang justru memecah belah? Bagaimana mungkin kita bangga dengan warisan Soekarno jika kita sendiri tidak Pancasilais?

Pancasila bukan hanya kata-kata indah dalam teks akademik. Ia harus dihidupi dalam keseharian. Tugas kita bukanlah memperjuangkannya dengan senjata seperti para pendiri bangsa. Perjuangan kita adalah merawatnya—dengan bersikap adil, menghargai perbedaan, dan menolak politik identitas yang memecah belah.

Jangan biarkan Pancasila runtuh di tangan kita. Kristalisasi perjuangan Soekarno dan para pendiri bangsa adalah warisan yang harus kita jaga, bukan sekadar kita nikmati. Jika kita benar-benar menghormati perjuangan mereka, maka tugas kita adalah memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila tetap hidup dalam diri kita dan generasi setelah kita.

Itu saja cukup.