gbm.my.id – Seorang sahabat, Didik Purnomo, pernah berbagi pengalaman ketika saya masih di Townsville, Australia. Ia menceritakan betapa sulitnya berurusan dengan birokrasi di tanah air, terutama saat bekerja di perusahaan tambak di Lombok. Menurutnya, jika kita tidak mengenal seseorang di kantor pemerintahan, urusan bisa menjadi panjang, bahkan bisa-bisa kita diabaikan begitu saja.
Suatu hari, ketika Didik dan saya bertemu di perpustakaan kampus, ia mengajak saya ke Center Link—lembaga yang berfungsi seperti “dinas sosial” di Australia. Lembaga ini memberikan berbagai layanan finansial, termasuk bantuan untuk penyandang disabilitas dan subsidi child care.
Saya tidak tahu persis alasan Didik mengajak saya. Namun, saya memang pernah mengutarakan niat untuk mengunjungi kantor tersebut guna mengecek apakah ada dukungan finansial bagi penyandang disabilitas. Selain itu, saya ingin mengalami secara langsung bagaimana pelayanan publik di Australia.
Kami berjalan kaki selama sepuluh menit menuju kantor Center Link. Setiba di sana, kami masuk dalam antrean yang cukup panjang, tetapi dalam lima menit saja sudah tiba giliran kami. Para petugas menyambut dengan ramah dan hanya mengajukan dua pertanyaan sederhana: “Apa kabar?” dan “Apa yang bisa kami bantu?” Tidak ada basa-basi berlebihan, tidak ada pertanyaan yang tidak relevan. Mereka langsung memberikan dokumen atau mengarahkan ke bagian terkait. Semua informasi dan prosedur pun sudah tertulis di berkas yang diberikan kepada kami, sehingga masyarakat bisa memahami sendiri aturan yang berlaku.
Saat keluar dari kantor itu, Didik tampak terkejut. “Pelayanannya nggak sesulit yang saya bayangkan,” katanya. Ia merasa terheran-heran karena selama ini punya anggapan bahwa birokrasi di mana pun akan berbelit-belit, terutama jika kita tidak punya ‘orang dalam’. Namun, di sini, semua diperlakukan sama tanpa melihat latar belakang atau penampilan.
Pengalaman yang Berbeda di Tanah Air
Pengalaman di Center Link membuat saya semakin sadar bahwa pelayanan publik tidak harus ribet dan diskriminatif. Namun, anggapan ini diuji ketika saya kembali ke tanah air dan hendak menemui pimpinan sebuah kantor.
Karena masih menganggur, saya berpakaian santai: jeans, kaos, dan tas pinggang. Saat memasuki kantor, saya melihat empat pegawai duduk di lobi—dua pria dan dua wanita. Saya menyapa mereka dengan ramah, tetapi hanya satu yang membalas, itu pun karena kami sudah saling mengenal sebelumnya.
Seorang pegawai perempuan kemudian bertanya dengan nada agak dingin, “Mau ketemu siapa?”
Saya menyebut nama pimpinan yang ingin saya temui.
“Pak masih ada tamu,” jawabnya tanpa banyak basa-basi.
Saya sedikit kesal dan berkata, “Saya dihubungi langsung oleh Pak… untuk datang ke sini.”
Mendengar itu, ekspresinya sedikit berubah. “Oh, kalau begitu, Pak tunggu di sini dulu,” katanya sambil berjalan menuju ruang pimpinan.
Tidak lama kemudian, pimpinan yang saya tuju keluar dan menyapa saya dengan ramah. Kami pun masuk ke ruangannya bersama seorang staf sekretariat. Ketika saya masuk, tidak ada tamu lain yang disebutkan sebelumnya. Saya pun menyadari bahwa informasi tadi hanyalah alasan untuk menunda atau menyaring siapa yang bisa menemui pimpinan.
Mengenal Diri, Mengenal Orang Lain
Pengalaman itu mengingatkan saya pada kotbah Pastor John Salu, SVD, dalam misa berbahasa Inggris di Kapela YMY minggu lalu. Tema kotbahnya adalah Mengenal Diri dan Mengenal Orang Lain.
Pegawai perempuan tadi ingin tahu siapa saya, dari mana asal saya, bahkan mencoba menebak profesi saya. Namun, ironisnya, ia sendiri tampaknya tidak mengenal peran dan batasan dirinya. Jika ia memahami tugasnya, ia tidak akan memberikan jawaban yang dibuat-buat. Seharusnya, ia mengarahkan saya ke petugas yang lebih berwenang, bukan malah menghalangi atau memberikan informasi yang tidak sesuai.
Kejadian seperti ini bukanlah hal yang asing. Kita sering menemukan orang-orang yang berusaha mengenal (atau lebih tepatnya ingin tahu) tentang orang lain, tetapi tidak mengenali siapa diri mereka sendiri. Kita menilai seseorang dari penampilan, seolah itu adalah satu-satunya ukuran kredibilitas dan kemampuan seseorang.
Jika saya datang ke kantor tersebut dengan pakaian yang lebih formal—mengenakan jas atau seragam—mungkin saya akan diperlakukan dengan lebih hormat. Tapi karena saya hanya memakai kaos dan jeans, saya dianggap tidak penting.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat fenomena ini. Ketika seseorang masuk ke toko dengan pakaian biasa, ia sering diabaikan oleh pelayan. Namun, jika ia mengenakan pakaian mewah, sapaan hangat langsung diberikan. Apakah pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang berpenampilan menarik?
Hikaro Cho dan Kritik Terhadap Penampilan
Fenomena ini pernah dikritik oleh seorang seniman asal Tiongkok, Hikaro Cho. Ia menciptakan seni dengan melukis tubuh manusia, menghasilkan efek visual yang seolah-olah anggota tubuhnya bisa dilepas-pasang. Awalnya, karyanya mendapat kritik. Namun, ketika ia merangkainya dalam format film stop-motion, hasilnya menjadi sebuah karya seni yang luar biasa.
Hikaro Cho menciptakan karya ini dengan pesan yang kuat:
“People tend to judge others just by their appearances, the colour of their skin, their eyes. I think that is really stupid. So I create these pieces of work with a message to others that not all is what it seems on the surface.”
(Orang cenderung menilai orang lain hanya berdasarkan penampilan, warna kulit, atau mata mereka. Saya pikir itu sangat bodoh. Maka saya menciptakan karya ini dengan pesan kepada orang lain bahwa tidak semua hal seperti yang terlihat di permukaan.)
Kritik dari Hikaro Cho ini bisa ditujukan kepada kita semua. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya. Tidak semua yang tampak di permukaan adalah cerminan dari kenyataan. Jika kita ingin mengenal orang lain, mulailah dengan mengenal diri sendiri terlebih dahulu.***