gbm.my.id – Langit biru membentang luas saat burung besi yang saya tumpangi mulai merendah di atas tanah Flores. Dari balik jendela pesawat, hamparan hijau menyambut pandangan. Kota Ruteng, kota kecil yang bersandar di kaki Gunung Mandasawu, menampakkan pesonanya yang khas. Seperti sebuah lukisan alam yang tak ternilai, kota ini menyajikan perpaduan antara keindahan lanskap dan kekayaan budaya yang mengakar kuat.
Ruteng memang unik. Kakak Linda Boleng pernah berkata bahwa Ruteng adalah kota yang indah, sejajar dengan Temanggung di Pulau Jawa. Bagi kita yang sering bepergian, terkadang sulit menemukan kota yang benar-benar berbeda. Namun, Ruteng menyuguhkan sesuatu yang lain. Ia memiliki bentang alam yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga menumbuhkan rasa takjub dan kagum.
Tak hanya bentuk kotanya yang memesona, Ruteng juga dikelilingi pegunungan kokoh yang menjulang bak benteng alami. Hutan tropis yang lebat menjadi penyangga hujan, menjaga keseimbangan alam yang telah diwariskan turun-temurun. Air jernih mengalir dari berbagai mata air, menghidupi warga dan menjadi urat nadi bagi sektor pertanian yang menjadi tulang punggung kehidupan di sini.
Ruteng tak kenal musim. Entah musim panas atau musim hujan, ia tetap setia dengan dinginnya yang khas. Jika Bogor dijuluki kota hujan, maka Ruteng pun pantas menyandang gelar serupa. Hujan yang turun nyaris sepanjang tahun menjadikan tanahnya subur, menghijaukan setiap jengkal tanah yang ada.
Sisi lain dari pesona Ruteng terletak pada hamparan sawahnya. Jika biasanya kota berkembang dengan mengorbankan lahan pertanian, di Ruteng kita masih bisa menemukan sawah yang bertahan di tengah pemukiman. Dari udara, petak-petak sawah itu tampak teratur, membentuk pola yang indah. Lebih jauh ke luar kota, kita bisa melihat hamparan sawah yang membentang luas bak permadani hijau yang menenangkan jiwa.
Keindahan persawahan di Ruteng tak hanya terletak pada hijaunya tanaman padi yang tumbuh subur, tetapi juga pada sistem pembagian lahan yang unik. Masyarakat Manggarai masih memegang teguh tradisi dalam mengelola sawah. Salah satu yang paling terkenal adalah sistem “lodok” atau yang sering disebut sebagai sawah jaring laba-laba. Pola ini tidak hanya mencerminkan keteraturan dan kearifan lokal, tetapi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Persawahan Cancar, misalnya, telah menjadi destinasi unggulan bagi pelancong yang ingin melihat langsung bagaimana budaya dan alam menyatu dalam harmoni yang indah.
Terhipnotis oleh pemandangan menawan dari udara, saya memutuskan untuk meluangkan waktu menjelajah lebih jauh. Epunk, sahabat perjalanan saya, menyarankan kami pergi ke Watu Alo, sebuah kawasan yang terletak di jalur Ruteng-Reo. Gerimis turun saat kami meninggalkan kota, namun semangat bertualang tak surut sedikit pun. Kami berhenti di beberapa titik untuk mengabadikan momen senja yang perlahan turun.
Di sebuah tikungan, saya meminta Epunk membelokkan motor menuju bukit sawah. Dari sini, pemandangan terbuka lebar, memperlihatkan latar pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Rasanya seperti berdiri di atas awan. Gumpalan kabut menggantung sejajar, bahkan ada yang berada di bawah tempat kami berpijak. Matahari sore mengintip dari balik kabut, menyemburatkan cahaya keemasan yang membuat Watu Alo tampak magis. Kata-kata seolah tak cukup untuk melukiskan keindahan ini. Yang bisa saya lakukan hanyalah menghela napas panjang, lalu berbisik dalam hati: betapa luar biasanya ciptaan Tuhan.
Jika Anda memiliki waktu dan kesempatan, datanglah ke tempat ini. Nikmatilah setiap sudutnya, resapi setiap hembusan anginnya. Dan paling tidak, kunjungilah Kota Ruteng. Pandanglah pesonanya dari udara, berjalanlah di antara sawah dan bukitnya. Saya yakin, Anda pun akan jatuh cinta, seperti saya yang kini merasa berat untuk kembali ke Kupang. Ruteng, kota kecil yang menawan, telah menawan hati saya sepenuhnya.