gbm.my.id – Dua puluh lima September. Hari ini. Pesta pelindung almamaterku – SMP/SMA St. Klaus Kuwu, Ruteng, Manggarai. Lima tahun hidup dalam dekapan almamater ini—rahim yang menghidupi dengan ilmu, kebajikan, dan keteladanan dari sang pendiri serta para pendidik.
Saya tak pernah mengira akan berada di tempat ini. Tak terlintas dalam benak, tak pernah menjadi bagian dari angan. Hidup memang penuh misteri, dengan lika-liku yang tak terduga. Tuhan telah menggariskan setiap manusia: dari mana ia memulai langkah dan ke mana arah perjalanan hidupnya.
Berawal dari Maumere, saya menumpang Kapal Motor Ratu Rosari yang melegenda. Bersama seorang suster, pimpinan biara SSPS Kota Baru, saya berangkat di suatu senja. Laut Flores tenang, malam syahdu ditemani deru mesin kapal. Tidur lelap hingga pagi. Akhirnya, kami tiba di pelabuhan Kedindi—teluk permai di Reok, Manggarai.
Siang itu, perjalanan dilanjutkan ke Ruteng. Malam harinya, saya menginap di biara SSPS. Keesokan paginya, saya menuju RS Damian Cancar untuk menjalani fisioterapi. Namun, kenyataan berkata lain. Sr. Virgula, pemimpin RS Damian, justru “mengasramakan” saya di sebuah lembaga pendidikan di atas hamparan tanah merah, di punggung bukit dan lembah Waebalak.
Itulah awal kisahku dengan St. Klaus.
St. Klaus—Rahim yang Menghidupi
Saat pertama kali tiba di kompleks St. Klaus, suasana yang saya rasakan begitu tenang. Bangunan-bangunan khas Manggarai tersusun seperti lodok, dengan lapangan sebagai pusatnya. Tempat yang sempurna untuk mengais ilmu.
Saya menemui Sr. Josephine PRR, kepala sekolah yang tegas dan disiplin. Tanpa banyak kata, ia menempatkan saya di kelas IID. Sejak itu, saya memperkenalkan diri sebagai Gerson. Sebagai siswa pindahan dari SMPK Virgo Fidelis Maumere, banyak yang mengenal saya sebagai orang Maumere daripada Nagekeo.
SMP St. Klaus sejatinya tidak menerima siswa pindahan, kecuali dari Seminari Kisol. Tapi, ada pengecualian untuk saya. Dugaan saya, ini berkaitan dengan hubungan baik antara Sr. Virgula dan Pater Wasser, pendiri St. Klaus. Keduanya berasal dari Eropa—Sr. Virgula dari Jerman, Pater Wasser dari Swiss. Sr. Virgula berkarya di bidang kemanusiaan, sementara Pater Wasser membaktikan diri pada pendidikan dan pembangunan.
Hubungan mereka berdampak besar bagi saya. Keberadaan saya di Kuwu mendapat perhatian langsung dari Pater Wasser, meskipun ia tak pernah berbicara langsung. Ia mengatur semuanya melalui para pembina asrama dan guru—mulai dari kamar tidur, akses makan, hingga kebutuhan lainnya.
Semi Seminari yang Unik
Di Kuwu, saya pertama kali mengenal istilah “semi seminari.” St. Klaus disebut demikian karena pola pendidikannya menyerupai seminari, tetapi juga menerima pelajar perempuan—sesuatu yang tak lazim dalam seminari pada umumnya. Aturan ketat berlaku, baik di asrama maupun di sekolah.
Konsep ini murni gagasan Pater Wasser. Ia tak pernah berdebat soal label yang disematkan orang lain. Baginya, yang terpenting adalah kerja dan hasilnya. Model semi seminari ini memang melahirkan alumni yang melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi dan menjadi imam, biarawan, atau biarawati.
Saya tak bisa menyebut angka pasti, tapi dari angkatan saya ada empat teman yang memilih jalan sunyi itu: RD Stanislaus Kamput, RD Vitalis Salung, RD Gusti Iwanti, dan RD Hiero Bandu. Mereka kini berkarya di Keuskupan Ruteng. Jumlah ini hanyalah sekelumit dari banyaknya alumni yang melanjutkan ke jenjang rohani.
Kerja dan Gagasan Besar Pater Wasser
Pater Wasser bukan hanya seorang pemikir, ia seorang pekerja keras. Ia membangun berbagai fasilitas di St. Klaus—asrama, sekolah, dan sarana belajar lainnya. Ia juga membuka peluang bagi para frater, bruder SVD, dan imam paroki terdekat untuk menjadi tenaga pengajar di sana.
Kami berbagi waktu antara pelajaran umum di pagi hari dan pelajaran seminari di sore hari. Dari sejarah gereja, kitab suci, hingga bahasa Latin—pelajaran yang diajarkan langsung oleh para imam. Pater Wasser sendiri mengajarkan bahasa Latin dengan sangat ketat. Baginya, kesempurnaan hanya milik Tuhan, maka tak seorang pun layak mendapat nilai 10.
Konsep ini menjadikan St. Klaus unik. Tak hanya di Manggarai, tetapi di Flores dan bahkan di Indonesia. Meski menuai pro dan kontra, Pater Wasser tetap teguh menjalankan visinya.
Menjadi—Kebebasan yang Diberikan St. Klaus
Kini saya menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perhatian. Mengapa St. Klaus dibangun di lingkungan yang dekat dengan Novisiat SVD Sang Sabda dan rumah unio para imam projo? Mungkin, Pater Wasser ingin agar keberadaan mereka menginspirasi siswa untuk mengikuti jejak mereka sebagai imam atau biarawan/wati.
Kami tak pernah tahu alasan pasti di balik gagasan ini. Yang kami tahu, kami telah menjalaninya. Kami telah menjadi bagian dari sistem yang ia bangun. Kami bebas memilih jalan hidup setelah ditempa oleh ilmu, kebajikan, dan keteladanan yang sama.
Bila hari ini St. Klaus masih terus mengirimkan alumninya ke berbagai seminari dan biara, maka sumbernya jelas: Pater Wasser. Dialah sang maestro semi seminari St. Klaus.
Kami adalah hasil dari rahim St. Klaus. Kami bebas memilih jalan kami sendiri—menjadi awam, imam, biarawan, atau biarawati. Tetapi satu hal yang pasti: sebelum kami berpisah di persimpangan jalan hidup, kami telah mengecap keutamaan yang sama.
SELAMAT MERAYAKAN PESTA ST. KLAUS VON FLUE
Semoga St. Klaus tetap jaya!