gbm.my.id – Handphone di mejaku berdering berkali-kali. Nomor tak dikenal. Aku menatapnya sekilas, lalu membiarkannya bergetar sendiri. Angin senja berdesir lembut, mengiringi langkahku menuju teras rumah. Aku duduk di sana, membiarkan langit yang berpendar jingga mengisi pikiranku.

Belakangan ini, banyak panggilan tak dikenal yang datang—mungkin prank, mungkin penipuan. Aku sudah terbiasa mengabaikannya. Jika penting, biasanya mereka akan mengirimkan pesan terlebih dahulu.

Dua hari berlalu. Ponselku kembali berdering dengan nomor yang sama. Sekali lagi, aku mengabaikannya. Namun kali ini, bukan panggilan yang datang, melainkan sebuah pesan singkat:

“Aku, Dokter Cyntia.”

Aku mengernyit. Nama itu asing.

“Dokter Cyntia? Maaf, siapa ya?”

Beberapa detik berlalu sebelum pesan lain masuk:

“Pemilik tas yang kamu masukkan nomor handphone-mu.”

Aku membaca pesan itu berulang kali. Keningku berkerut.

“Ah, masa?”

“Ya. Aku menemukannya dalam tas saat itu.”

“Aku tidak pernah melakukan itu. Kamu pasti salah orang.”

“Coba kamu ingat-ingat lagi. Perjalanan ke Malaka, lima tahun lalu. Kita dalam mobil travel yang sama.”

Aku terpaku. Lima tahun? Itu waktu yang lama. Banyak peristiwa telah berlalu, memudar seperti jejak di pasir yang disapu ombak.

“Kamu duduk persis di sebelah kiriku, kan?”

Aku menggigit bibir, mencoba menggali ingatan yang terkubur. Potongan gambar samar mulai muncul. Suara deru mesin, aroma khas kursi mobil travel, dan bayangan seorang gadis di sebelahku.

“Oh ya? Sabar, beri aku waktu untuk me-refresh memori.”

“Kamu, Marvel, kan?”

Aku tersentak. Namaku. Ia mengingatnya.

“Ya.”

“Nah, masa kamu lupa?”

Aku menghela napas. Memori itu seperti puzzle yang hilang satu persatu. Tapi satu hal yang aku ingat, di sebelahku memang duduk seorang gadis. Sementara seorang ibu memangku balitanya di kursi sebelah kiri.

“Dokter, kamu bikin aku tambah bingung.”

“Masa sih? Masa kamu lupa?”

“Sudah terlalu lama, mungkin otakku butuh piknik untuk menelusuri kembali jejak itu.”

“Haha…”

Aku tersenyum membaca balasannya. Ada kehangatan aneh di sana.

“Lucu saja. Mana mungkin kamu lupa kalau kamu sengaja memasukkan nomor handphone-mu ke tasku.”

Aku mengernyit. Apa mungkin aku melakukan itu?

“Kamu lupa atau pura-pura lupa?”

“Aku benar-benar lupa.”

“Kalau lupa, coba ingat-ingat lagi dong. Masih muda kok sudah pikun.”

Aku terkekeh. Tiba-tiba, bayangan itu menjadi lebih jelas. Mobil travel berwarna hitam. Sopir brewokan. Seorang bapak di kursi depan yang memangku putranya. Aku ingat, kami berbincang panjang soal pendidikan, birokrasi, dan entah apa lagi. Si bapak bahkan mengira aku seorang kontraktor.

Dan di sebelah kananku, seorang gadis diam sepanjang perjalanan.

Aku menggigit bibir. Apakah mungkin…?

“Kita menumpang mobil Kijang hitam, kan?” balasku.

“Nah! Akhirnya kamu ingat!”

Aku terdiam. Jika ini benar, maka aku telah meninggalkan sesuatu dalam perjalanan itu. Sebuah nomor, sebuah kesempatan, atau mungkin… sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.

Dokter Cyntia berusaha mengembalikan memoriku. Ia pun pelan-pelan mengulur pita memori hingga pada titik kesadaranku akan peristiwa itu. Ia berhasil. Tapi aku malu mengakuinya karena perbuatan yang memasukkan nomor ke dalam tasnya.

Hati dan pikiranku berkecamuk. Terciptalah perang batin dalam diriku. Mengaku atau tidak? Sebenarnya, apapun jawabannya tidak berdampak banyak karena peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Waktu yang sudah sangat lama. Kehadiran dokter Cyntia melalui SMS membuka lagi memori itu.

Aku ingat samar-samar. Seorang wanita cantik, berkulit putih bersih, berkacamata. Bagaimana awalnya ia naik ke dalam mobil aku tak tahu. Saat itu mobil travel yang kutumpangi parkir di terminal bayangan Oesapa. Aku turun sebentar ke counter HP, dan ketika kembali, ia sudah duduk di kursiku. Aku terkejut, tapi tak mungkin memintanya pindah. Aku memilih mengalah.

Kami diam sepanjang perjalanan. Aku lebih memilih mengobrol dengan seorang bapak birokrat di kursi depan. Cyntia pun tampak santai, sesekali memejamkan mata. Hanya saat kami berhenti di rumah makan Kolbano, aku sempat menatapnya. Ia membalas senyumku singkat. Namun, tetap saja, aku tak berani membuka obrolan.

Beberapa bulan setelah SMS terakhirnya, kami terdiam. Tak ada lagi pesan. Tak ada lagi telepon. Aku mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Haruskah aku menghubunginya lebih dulu?

Malam itu, aku akhirnya menekan nomornya.

“Malam, Dok.”

“Ya, panggil aku Cyntia aja.”

“Baik, Cyntia. Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Kamu sendiri?”

“Aku baik-baik saja.”

Hening sejenak.

“Aku baru ingat sekarang tentang peristiwa lima tahun yang lalu itu. Kata-katamu benar. Kita pernah semobil melewati jalan yang kelam sepanjang jalur selatan Pulau Timor.”

“Apa maksudmu?”

“Ya, kisah nomor HP di dalam tas itu.”

“Haha… Aku dah lupa itu.”

Aku terkekeh. Kali ini, gilirannya mengerjaiku.

“Jangan pura-pura lupa, Cyntia. Kamu yang paling ingat peristiwa itu, kini kamu malah menyangkalnya.”

“Aku memang lupa, kok. Lagi pula kejadiannya sudah lama.”

Aku tersenyum kecil. Begini rupanya rasanya dipermainkan balik. Tapi aku tahu, ia hanya ingin sedikit membalas kelakuanku yang dulu menyangkal kenangan itu. Aku harus mengakui, perasaan aneh mulai tumbuh di sela percakapan kami.

Mungkin, ada sesuatu yang lebih dari sekadar nomor dalam tas kenangan itu.

Perjalanan dilanjutkan saat jarum jam menunjukkan pukul 09.30 malam. Sopir menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi, menerobos pekatnya malam yang semakin larut. Aku terus berbincang dengan penumpang lain, wanita di samping kiriku dan suaminya yang duduk di kursi depan. Sementara itu, Cintya kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku. Matanya terpejam, entah terlelap atau hanya berpura-pura tidur.

Sesekali kepalanya menyentuh bahuku, lalu tegak kembali. Begitu terus sepanjang perjalanan. Aku membiarkan segalanya terjadi, toh ini bukan kesengajaan, hanya sekadar kondisi yang membuatnya demikian. Aku terjebak di antara dua wanita, serba salah, namun tetap memilih diam.

Di tengah perjalanan, Cintya bangun sejenak, menurunkan kaca mobil, membiarkan angin malam menyibak rambutnya yang tergerai. Aroma semerbak yang samar-samar memabukkan menyelusup di hidungku. Ia kembali terlelap, kali ini benar-benar bersandar di pundakku. Aku diam, membiarkan berat kepalanya bertumpu di sana, meminjamkan sedikit ruang bagi lelahnya.

Saat itu, pikiranku melayang-layang, dipenuhi imajinasi tentang apa jadinya jika perjalanan ini lebih dari sekadar perjalanan. Jika malam ini lebih dari sekadar kebetulan. Jika Cintya lebih dari sekadar penumpang di mobil yang sama.

Di Jembatan Menu, mobil berhenti karena ada perbaikan jalan. Di tengah remang-remang cahaya lampu mobil, aku melihat tas tangan Cintya sedikit terbuka. Ide konyol berkelebat di benakku. Tanpa banyak berpikir, aku menuliskan nomorku di secarik kertas, melipatnya kecil, lalu menyelipkannya ke dalam tasnya. Aksi yang nekat, tapi dilakukan dalam satu gerakan cepat, seperti jurus Wiro Sableng yang tiba-tiba saja terlintas di kepalaku.

Cintya tetap tertidur, hanya sesekali tersadar untuk membetulkan posisi duduknya. Ketika akhirnya mobil sampai di tempat kosnya, ia turun dengan langkah tenang, menyapa kami semua dengan suara lembut sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kayu bercat biru.

Aku menunggu. Seminggu. Sebulan. Lima tahun berlalu tanpa satu pun kabar darinya. Aku mulai berpikir bahwa secarik kertas itu telah menghilang entah ke mana.

Lalu, di suatu sore yang tidak terduga, sebuah SMS masuk ke ponselku.

“Halo Marvel, masih ingat peristiwa lima tahun lalu?”

Dadaku berdesir. Seakan pita memoriku diputar kembali. Aku membalas pesannya dengan pura-pura lupa. Namun, Cintya pelan-pelan menarik kembali ingatanku dengan cerita yang detail tentang pertemuan kami di mobil travel itu.

Setelah itu, kami mulai sering bertukar pesan dan bercanda seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Namun, satu pertanyaan terus mengusik pikiranku. Hingga suatu malam, aku memberanikan diri untuk menanyakannya.

“Cintya, kenapa kamu baru menghubungiku sekarang? Kenapa dulu tidak menelepon setelah menemukan nomorku?”

Cintya hanya tertawa. Tawa yang ringan, tapi mengandung banyak makna.

“Aku tidak bisa menghubungimu saat itu, Marvel. Aku sudah memiliki seseorang.”

Aku terdiam sejenak, mengingat seorang pria yang mengantarnya ke mobil saat itu.

“Dia yang mengantarmu ke Oesapa?”

“Ya… Tapi sekarang dia bukan siapa-siapaku lagi. Kalau dia masih ada, aku tidak akan menghubungimu.”

Aku menghela napas panjang. Di satu sisi, aku senang karena perasaanku padanya dulu ternyata bukan hanya khayalan semata. Tapi di sisi lain, waktu telah berjalan terlalu jauh. Aku sudah memiliki Jessica, seseorang yang selama ini menemani hari-hariku dalam diam, tanpa kebetulan, tanpa perpisahan panjang.

“Cintya…” Aku berbicara pelan, seolah takut melukai sesuatu yang rapuh di antara kami. “Aku tidak bisa berpaling dari Jessica. Aku butuh waktu lama untuk mencintainya, untuk membangun perasaan ini. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu yang sudah tertinggal.”

Hening di seberang sana. Lalu suara Cintya kembali terdengar, pelan namun tegas.

“Aku tahu. Aku hanya ingin tahu apakah kamu masih mengingatku.”

Aku tersenyum kecil. “Aku mengingatmu, Cintya. Selalu.”

Kami masih saling berkirim pesan setelahnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang perlahan memudar. Aku tahu, suatu hari nanti, Cintya akan berhenti mengirim pesan. Akan berhenti menelepon. Seperti malam di mobil travel itu, aku tahu aku harus membiarkannya pergi.

Karena Cintya adalah masa lalu yang datang terlambat, dan aku telah memilih untuk berjalan ke depan.