gbm.my.id – Medio Oktober. Flores panas membara. Sesuai siklus musim yang kupelajari di bangku sekolah, Flores seharusnya telah memasuki musim hujan. Namun, pemanasan global telah mengubah ritmenya. Langit biru terhampar luas, awan putih enggan menurunkan hujan. Angin hanya sesekali berhembus, membawa aroma tanah kering dan debu yang menari di udara.
Hari itu, aku menemani Loretta, gadis Italia yang kukenal pada kegiatan World Youth Day di Sydney. Ia adalah seorang pemimpi, seorang petualang yang akhirnya menginjakkan kaki di Flores setelah sekian tahun hanya membayangkannya melalui kisah-kisah di koran dan cerita para misionaris.
Aku masih ingat ketika ia berlari keluar dari ruang kedatangan di Bandara Aroeboesman. Ia berteriak gembira, memelukku erat seolah menemukan sesuatu yang lama hilang. Di balik pelukan itu, aku merasakan debaran yang tak biasa. Mungkin karena rindu. Mungkin karena sesuatu yang lebih dalam.
Malam itu, kami menghabiskan waktu di Moni. Suara jangkrik mengisi keheningan, angin malam mengelus wajah kami yang lelah. Loretta duduk di beranda penginapan, menatap langit penuh bintang. “Aku tak menyangka akhirnya aku di sini,” katanya lirih.
Pagi-pagi buta, kami berangkat ke puncak Kelimutu. Kabut menyelimuti perjalanan kami, menciptakan suasana magis. Truk kayu yang kami tumpangi berderit melewati jalanan berbatu. Loretta menggenggam tanganku erat saat kami mulai mendaki. Setiap langkah terasa ringan meski jalan menanjak. Mungkin karena hatiku yang melayang.
Ketika kami tiba di puncak, matahari masih enggan menampakkan dirinya. Kami berdiri di tepi pagar pembatas, menanti cahaya pertama yang akan mengungkap misteri tiga warna danau Kelimutu. Loretta menatap lekat Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Mbupu yang berwarna biru kehijauan, lalu beralih ke Tiwu Ata Polo yang berwarna merah kecokelatan. “Ini seperti kehidupan,” katanya tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Tuhan ada di satu sisi, jauh dan tak terjangkau, seperti danau yang terpisah itu. Sementara manusia di sisi lain, penuh warna, kadang damai, kadang bergejolak.”
Aku terdiam. Filsafatnya sederhana, tapi begitu dalam. Aku menatapnya, mencari sesuatu di matanya. Mungkin kepastian bahwa aku tak sendiri dalam rasa ini.
Loretta berbalik, lalu tiba-tiba menarik tanganku. “Ger, mari kita turun dengan berjalan kaki. Aku ingin merasakan setiap jejak di tanah ini. Aku ingin menyatu dengan Flores.”
Aku mengangguk. Kami mulai menuruni jalan setapak, menyusuri hutan kecil, melintasi pancuran bambu tempat kami membasuh wajah dengan air pegunungan yang sejuk. Aku memetik sekuntum bunga liar dan menyelipkannya di telinganya. Loretta tertawa, berlari kecil menghindar, tapi akhirnya membiarkan bunga itu tetap di sana.
Langkah kami semakin ringan saat memasuki hamparan sawah di Waturaka. Padi menguning, bergoyang ditiup angin. Loretta berhenti di tengah pematang, menutup matanya, merentangkan tangan seperti hendak merangkul semesta. Aku hanya bisa menatapnya, merasakan sesuatu yang hangat mengisi dadaku.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terlalu sulit diungkapkan. Jadi aku hanya menggenggam tangannya, membiarkan keheningan berbicara. Loretta tersenyum, lalu meremas tanganku pelan.
Mungkin inilah cinta, yang tumbuh perlahan di antara langkah-langkah perjalanan. Atau mungkin ini hanya sebuah persinggahan dalam hidupnya. Aku tak tahu. Tapi aku tahu satu hal: hari itu, di antara sawah dan gunung, di bawah langit Flores yang biru, aku ingin waktu berhenti sejenak.
Aku berjalan di depan Loretta. Sesekali aku menuntunnya, terlebih saat kami harus berpindah dari satu pematang sawah ke pematang lainnya. Langit membentang luas, seakan merestui perjalanan kami yang tak hanya melintasi lanskap Flores, tetapi juga menelusuri lorong-lorong batin kami masing-masing. Anak-anak kampung Waturaka berseru riang seperti biasa.
“Miste, miste!”
Seruan itu menyambut setiap pejalan asing yang melintasi desa mereka. Loretta tersenyum, mungkin geli, mungkin terpesona oleh ketulusan yang menguar dari wajah-wajah kecil itu. Aku hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa kebahagiaan tak perlu dirangkai dalam kalimat-kalimat rumit.
Kami singgah di sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Seorang ibu dengan balutan sarung sederhana duduk di atas bale-bale, ditemani suaminya dan seorang anak kecil yang matanya berbinar ingin tahu.
“Mau ke mana, Nak?” suara ibu itu lembut.
“Moni, Mama,” jawabku.
“Turis ini orang mana?”
“Italia.”
“Saya tidak tahu,” gumamnya pelan.
Suaminya tergelak, “Kalau kamu tidak tahu, jangan tanya sembarang.”
Kami pun tertawa bersama. Gelak tawa di tengah gubuk reot itu terasa lebih hangat daripada aula-aula besar di kota-kota besar yang sering terasa sunyi. Mereka menjamu kami dengan jagung goreng yang baru saja diangkat dari wajan tanah liat. Aku meraih segenggam, lalu menatap Loretta yang ragu-ragu. Aku meyakinkannya dengan sebuah lirikan. Perlahan, ia mengambil beberapa butir, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Wajahnya seketika berubah, matanya membesar, membuat semua orang terbahak.
“Saya belum pernah makan sesuatu yang seperti ini,” bisiknya sambil tersenyum malu.
Kami melanjutkan perjalanan, menuruni medan yang kian curam. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Loretta. Di hadapan kami, sebuah kali kecil melintang, airnya hangat dengan aroma belerang yang menguar tajam. Loretta ragu untuk menyeberang.
“Duduk di bahuku,” tawarku.
Ia menatapku lekat, seolah mencari kesungguhan dalam kata-kataku. Setelah sedikit bujukan, akhirnya ia setuju. Aku menahan napas, menahan beban sekaligus menahan kehangatan aneh yang menyelusup dalam dadaku. Saat kami tiba di seberang, ia membasuh wajahnya di sumber air panas, lalu dengan jahil mencipratkan air ke wajahku.
“Loretta!” aku terkesiap.
Ia tertawa lepas. Aku berlari menghindar, tapi ia terus mengejar. Percikan-percikan air dan gelak tawa kami berpadu dengan desiran angin dan nyanyian serangga. Sesaat, dunia terasa begitu sederhana dan bahagia.
Namun kebahagiaan sederhana itu mulai mengikis saat kami menyusuri jalan utama. Tak ada kendaraan yang melintas, memaksa kami berjalan kaki lebih jauh. Sepanjang jalan, Loretta mengungkapkan kekagumannya terhadap orang-orang di sini.
“Aku heran dengan mereka,” katanya. “Mereka bahagia meskipun hidup di gubuk dan makan makanan seadanya.”
“Apakah kebahagiaan itu diukur dari tawa?” aku menggugat pelan.
“Tidak, Ger. Tapi setidaknya, mereka tahu cara menikmati hidup. Berbeda dengan kami di Eropa. Kami punya segalanya, tapi jarang tersenyum. Hidup kami sibuk dan individualistis. Senyum pun terasa mahal.”
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya menggema dalam benakku. Aku teringat Bhutan, negeri kecil yang lebih mementingkan Gross National Happiness daripada Gross National Product. Mungkin, Loretta benar. Mungkin, kebahagiaan bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita memaknainya.
Kami tiba di penginapan. Malam itu, kami terdiam di beranda, membiarkan desir angin malam menjadi percakapan sunyi di antara kami. Pagi harinya, aku mengantarnya ke bandara. Waktu berjalan begitu cepat, meninggalkan jejak yang tak kasat mata.
Saat perpisahan, kami berpelukan erat. Aku mengecup keningnya pelan, merasakan dinginnya kulitnya di bawah bibirku. Tak ada kata cinta yang terucap, tapi bukankah cinta lebih sering hadir dalam tindakan kecil yang tak terdefinisikan?
Mungkin.
Gracia, Loretta.