gbm.my.id – Cerita tentang Sabu bukan hanya tentang sebuah tempat di ujung selatan Indonesia. Bukan sekadar pulau yang jarang disebut dalam peta wisata populer. Sabu adalah cerita tentang kerinduan. Kerinduan yang tumbuh dalam hati tanpa sebab yang jelas, tapi hadir seperti angin timur yang membawa pesan-pesan rahasia dari masa lampau.
Kerinduan ini sudah lama bergelora. Kerinduan pada alam yang konon keras dan gersang, pada budaya yang kental, dan pada wajah-wajah ama-ina yang berparas ‘India’—unik, eksotis, dan penuh cerita.
Dua minggu sebelum kaki ini benar-benar menginjak tanah Sabu, aku pernah mengatakan pada seorang sahabat—seorang perempuan blasteran Sabu dan Jawa—“Saya ingin ke Sabu.” Sebuah pernyataan sederhana, namun ternyata tidak sesederhana dampaknya. Tak kusangka, semesta merespons cepat. Sebuah tugas membawaku ke sana. Mungkinkah ini yang disebut Power of Law, kekuatan impian yang bekerja dalam diam? Mungkin saja. Aku percaya itu. Karena hidup sering kali bekerja lewat keajaiban-keajaiban kecil yang tak bisa dijelaskan logika.
Menyebut Sabu, orang sering membayangkan alam yang keras dan terbuka. Pohon-pohon lontar menjulang di antara ladang-ladang kering. Air adalah kemewahan, dan gula lontar adalah warisan. Sarana transportasi? Terbatas. Akomodasi? Seadanya.
Ada dua jalan menuju Sabu: lewat laut dan lewat udara.
Lewat laut, ada dua pilihan: ferry cepat dan ferry lambat. Ferry cepat bisa menempuh perjalanan selama empat jam, sedangkan ferry lambat lebih dari itu. Walaupun terkesan lebih romantik dan menyatu dengan laut, pilihan ini tak cocok untuk semua orang. Maka banyak yang memilih jalur udara, meskipun harga tiketnya mahal dan butuh keberanian ekstra.
Jalur udara hanya punya satu nama: Susi Air. Maskapai mungil milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti. Pesawatnya kecil, hanya seukuran ‘capung’. Bermesin jet dan bisa menampung 12 penumpang, belum termasuk dua pilot di depan.
Inilah yang membuat jantungku berdebar lebih cepat. Naik pesawat besar saja aku bisa gugup setengah mati, apalagi naik pesawat kecil seperti ini. Tapi, kata penumpang di sebelahku—dalam nada menenangkan—naik Susi Air justru lebih aman. “Pesawat ini bermesin jet, dan bisa mendarat di mana saja,” katanya sambil tersenyum. Entah ucapan itu jujur atau hanya penenang sesama penumpang yang gelisah.
Karena ukurannya kecil, semua perhitungan dalam Susi Air sangat presisi. Bahkan sebelum naik pesawat, semua penumpang—tanpa kecuali—harus ditimbang. Berat badan plus bagasi harus pas. Ini pengalaman keduaku ditimbang sebelum terbang. Pertama kali, di Bandara Komodo, beberapa tahun silam. Tapi waktu itu pesawatnya masih jauh lebih besar dari Susi.
Tepat pukul 12.30 WITA, waktu Kupang, panggilan boarding terdengar. Kami berjalan kaki menuju parkiran pesawat. Di sana, seperti ritual tak tertulis, penumpang yang baru pertama kali naik Susi—termasuk aku—tak bisa menahan keinginan untuk narsis. Foto dengan pilot, senyum kaku karena gugup, dan jepretan-jepretan penuh rasa ingin tahu.
Sebelum masuk ke pesawat, kami membentuk setengah lingkaran. Seorang petugas laki-laki memperagakan cara menggunakan life jacket—pelampung keselamatan yang mungkin satu-satunya harapan jika terjadi sesuatu di atas laut Sabu. Lima menit yang sunyi tapi menegangkan. Semua diam. Semua mendengarkan. Dalam hati, aku berdoa: semoga ini hanya formalitas, bukan pertanda.
Lalu, kami naik. Kursi sempit, suara mesin nyaring, dan langit yang luas menunggu di atas sana. Aku duduk, menarik napas panjang, dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
Satu jam lebih sedikit di udara, akhirnya kami mendekati daratan Sabu. Dari atas, pulau ini seperti hamparan padang coklat keemasan, dibingkai garis pantai yang melengkung lembut. Tidak ada hutan lebat, tidak ada gedung tinggi. Yang ada hanyalah bentang alam yang jujur—kering, keras, dan penuh karakter.
Pesawat menukik perlahan, bersiap mendarat. Aku menahan napas, berdoa dalam hati. Tapi nyatanya, pendaratan itu berjalan mulus. Tidak ada guncangan hebat, tidak ada ketegangan. Hanya debu yang naik ketika roda pesawat menyentuh tanah Sabu.
Aku tersenyum. Dalam hati, aku berkata, “Sabu, akhirnya aku datang.”
Bandara kecil itu sepi dan hangat. Hanya ada beberapa petugas yang menyambut kami, dengan senyum lebar dan sapaan bersahaja. Tak ada keramaian, tak ada suara pengumuman. Semuanya serba sederhana, seperti pulau ini mengajak siapa saja yang datang untuk melepaskan kesombongan kota dan kembali menjadi manusia biasa.
Udara kering menyambut wajahku, matahari bersinar tanpa kompromi. Tapi anehnya, tidak membuatku lelah. Justru ada semangat baru yang mengalir. Seolah Sabu berbisik lembut, “Selamat datang. Ini tanahmu juga.”
Dan betul, di tanah ini aku merasa bukan orang asing. Mungkin karena cerita-cerita yang sudah lama kudengar tentangnya. Mungkin karena wajah-wajah orang Sabu yang mengingatkanku pada masa kecil di kampung. Atau mungkin karena tanah ini, dengan caranya sendiri, telah lama menungguku.
Sabu bukan tempat untuk siapa saja. Ia bukan pulau yang memanjakan. Tapi bagi mereka yang datang dengan hati, ia adalah pelukan yang tak akan terlupakan. Alamnya keras, tapi jujur. Budayanya kuat, tapi terbuka. Dan langitnya—oh, langitnya—selalu tampak lebih luas dari biasanya.
Perjalanan ini bukan akhir. Ia baru permulaan dari kisah-kisah lain yang mungkin akan kutulis nanti. Tapi satu hal yang kupelajari hari itu: kerinduan tidak pernah sia-sia. Ia adalah kompas yang menuntun kita ke tempat-tempat yang tak hanya indah di mata, tapi juga bermakna di hati.
Sabu adalah salah satunya.