gbm.my.id – Di sebuah sudut tenang di Wolorowa, Ngada, NTT, terdapat sebuah rumah yang lebih mirip kandang daripada tempat tinggal. Namun, bagi seorang Daniel Watu, rumah sederhana itu bukan sekadar tempat bernaung—ia adalah monumen hidup, ruang ekspresi, dan bukti totalitasnya pada musik bambu. Di sana, suara Foi Doa menggema, menyatu dengan alam, membawa kisah panjang ketekunan seorang maestro yang mengabdikan hidupnya untuk musik tradisional.

Musik sebagai Nafas Hidup

Bagi Daniel Watu, musik bukan sekadar bunyi atau hiburan, melainkan denyut nadi kehidupan. Musik adalah jalan sunyi yang ia pilih tanpa perhitungan untung-rugi. Di dalam dirinya, seni adalah soal rasa, bukan logika. Ia tidak mencari kemewahan dari musik bambu, melainkan ingin menjaga api peradaban musikalitas Ngada tetap menyala. Di tengah gempuran musik modern, ia tetap setia mengembangkan dan melestarikan Foi Doa, sebuah bentuk seni tiup bambu yang unik dan sarat makna.

“Bapak Daniel Watu tetap mengembangkan dan melestarikan Foi Doa. Malah, di tengah hiruk pikuk musik populer, beliau semakin inovatif agar Foi Doa tetap relevan,” tulis Dr. Karolus Budiman Jama dan rekan-rekannya dalam sebuah laporan yang dikirim kepada penulis.

Maestro dari Tanah Ngada

Tak berlebihan jika Daniel Watu dijuluki maestro. Kecerdasannya dalam bermusik melampaui sekadar gelar akademik. Ia tidak hanya memahami musik secara teknis, tetapi juga merasakan, menghidupi, dan menciptakan. Jika ia hanya disebut guru, mungkin orang akan bertanya tentang latar belakang pendidikannya. Namun, dengan menyebutnya maestro, semua lapisan pendidikan dan status sosial menjadi tak relevan. Keilmuannya tentang musik bambu tak bisa diukur dengan standar akademik; ia adalah warisan, intuisi, dan jiwa yang mendalam.

Bahkan, dua sosok intelektual—Dr. Karolus Budiman Jama, seorang dosen Undana, dan Endra Djawa Nai, seorang akademisi muda—melihat kebesaran dalam sosoknya. Meski latar belakang pendidikan mereka jauh berbeda, keduanya justru berguru pada Daniel Watu. Mereka tidak sekadar mengagumi, tetapi juga tergerak untuk mendokumentasikan karya-karya sang maestro secara digital.

Meretas Jejak Sang Maestro

Kolaborasi lintas generasi ini membuahkan hasil. Pada 4-24 Oktober 2021, Dr. Karolus dan Endra bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mendokumentasikan karya Daniel Watu di kampung halamannya, Wolorowa. Inisiatif ini bukan hanya untuk mengarsipkan, tetapi juga memastikan bahwa Foi Doa tetap hidup di tangan generasi penerus.

Lebih dari sekadar musik, Foi Doa telah menjadi identitas budaya yang harus dijaga dan diwariskan. Upaya ini membuka jalan bagi pengakuan lebih luas, termasuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk karya-karya Daniel Watu. Dengan demikian, bukan hanya karyanya yang lestari, tetapi juga haknya sebagai pencipta diakui secara hukum.

Melahirkan Maestro Baru

Daniel Watu mungkin tidak membayangkan sejauh ini. Ia hanya ingin terus bermain musik, mengajarkan, dan berbagi. Namun, ketulusannya dalam berkarya telah menular. Ia menginspirasi generasi muda untuk mencintai musik bambu, untuk menggali kembali akar budaya yang nyaris terlupakan.

Melalui perjalanan panjangnya, satu hal menjadi jelas: musik tidak hanya tentang bunyi, tetapi juga tentang warisan, nilai, dan identitas. Daniel Watu telah membuktikan bahwa meski lahir dari sebuah rumah sederhana di Wolorowa, suaranya bisa menggema jauh, bahkan hingga ke dunia digital. Dan siapa tahu, dari tangan-tangan yang pernah ia sentuh, akan lahir maestro-maestro baru yang akan meneruskan kisah Foi Doa ke masa depan.