gbm.my.id – Langit Kota Kupang pada Kamis, 22 November 2014, tampak bermuram durja. Awan menggantung di angkasa, seolah ragu antara menumpahkan hujan atau sekadar menebar ancaman. Saya, yang bersiap melakukan perjalanan ke Ruteng, turut dilanda kegelisahan. Bukan hanya karena cuaca yang tak menentu, tetapi juga karena perjalanan ini memiliki tujuan yang penting: mengisi materi menggantikan instruktur utama esok harinya.

Detik-detik menjelang lepas landas, rasa takut dan pasrah berkelindan dalam benak. Trans Nusa pun meninggalkan daratan, menembus langit yang kelabu. Di atas perairan Teluk Kupang, pesawat harus melawan dinding awan tebal. Pilot tampak yakin, kendati kami hanya bisa melihat gumpalan mega yang menutupi segala arah pandang. Saya memilih mengatupkan mata, menyerahkan perjalanan ini kepada takdir.

Dalam pesawat, saya sempat berbincang dengan seorang penumpang di sebelah kiri. Percakapan ringan yang lazim terjadi di antara para musafir udara: Dari mana? Mau ke mana? Obrolan singkat itu terhenti ketika suara pramugari menggema, menawarkan segelas air mineral dan sepotong roti. Meski tak terlalu berselera, saya tetap melahapnya—perut kosong sejak pagi menuntut asupan.

Ketika pesawat melintas sejajar dengan garis pantai selatan Pulau Flores, gumpalan awan kembali menghadang. Kali ini, saya lebih tenang, tetapi penumpang di sebelah justru berbagi cerita yang menambah keresahan.

“Pesawat ini sudah beberapa kali kembali ke Kupang karena gagal mendarat di Ruteng,” katanya dengan logat khas Manggarai.

“Wah, jangan sampai terjadi hari ini,” tanggap saya singkat.

Harapan saya bertumpu pada kepiawaian pilot. Jika pesawat gagal mendarat, perjalanan hari itu akan sia-sia. Namun, perlahan, pesawat mulai keluar dari kepungan awan. Langit Flores kembali cerah, dan pemandangan di bawah sana mulai tampak. Perkampungan penduduk terlihat jelas, begitu pula hamparan sawah yang tertata rapi dengan pola unik.

Pesawat terus menyusuri lintasan ke arah barat. Pemandangan khas bumi Congka Sae tersaji di hadapan mata. Lembah dan pegunungan yang menjulang menjadi penanda bahwa kami semakin mendekati tujuan. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah pola sawah yang membentuk lingkaran—lodok, sebuah sistem pertanian khas Manggarai yang telah dikenal dunia.

Ketika pesawat berputar di atas Wae Garit dan membalik badan untuk bersiap mendarat dari arah barat, kami disuguhi panorama menakjubkan. Lodok Cancar tampak seperti permadani raksasa dengan corak alami yang luar biasa. Padi yang menghijau keemasan menambah pesonanya. Barisan pegunungan Mandasawu berdiri kokoh di selatan, seolah menjadi benteng alami bagi kota kecil yang terletak di bawahnya: Ruteng.

Sang surya mulai menyapa dari timur, memperindah lanskap yang telah memesona sejak tadi. Ruteng tampak merayu, menyambut kami dengan hangat. Ban pesawat menyentuh landasan Bandara Frans Sales Lega dengan mulus.

“Kalau di sini, pesawat mendarat aman. Tak ada angin,” ujar pria asal Cancar di sebelah saya, penuh keyakinan.

Ruteng menyapa kami dengan sinar mentari yang ramah. Kabut tipis masih menggantung di pegunungan selatan, melambai seperti tangan yang menyambut kedatangan kami. Selamat datang, enu dan nana, di negeri Motang Rua. Perjalanan baru saja dimulai.