gbm.my.id – Dari Mandorak yang memesona—seperti isi kotak Pandora yang jatuh lembut di bumi Sumba—perjalanan kami berlanjut. Kali ini menuju sebuah perkampungan adat yang kerap hadir di brosur-brosur wisata, tapi jauh lebih kuat ketika dirasakan langsung: Ratenggaro. Kami hampir saja melewatkannya, jika bukan karena memori sang sopir yang setia memenuhi janji semalam.
Hanya sekitar lima belas menit dari Mandorak, kami melintasi jalan-jalan yang belum tersentuh mulusnya aspal kota. Namun di balik jalan yang menantang, sebuah panorama menantikan: bubungan Uma Kelada menjulang bak tombak peradaban yang menembus langit.
Saat memasuki gerbang Ratenggaro, kami disambut hangat oleh Bapak Yoseph. Di tangannya, ia menggenggam warisan—senyuman tulus dari leluhur yang menjaga. Sebuah papan oranye menyambut kami dengan aturan adat. Tarif masuk, sewa kuda, pakaian adat, hingga biaya foto tak ditulis dengan gaya kapitalis, tapi seperti sebuah pengingat: bahwa semua yang kami nikmati ini ada harganya, bukan semata karena uang, tapi karena harga budaya.
Tak banyak suara. Hening. Tapi bukan sunyi. Ratenggaro berbicara dengan bahasa lain: bahasa angin yang menyapu ilalang, gemericik muara yang memeluk laut, dan tatapan diam para tetua yang duduk di beranda rumahnya, menjajakan bukan hanya kain tenun, tapi fragmen warisan.
Kami menyusuri jalan setapak, melewati deretan kuburan batu yang rapi, masing-masingnya bak prasasti masa lalu. Di sinilah kita menyaksikan sisa-sisa kejayaan dan kesakralan: batu nisan para raja, batu hitam entah berfungsi apa di masa lalu, semua menyimpan teka-teki yang dibiarkan tetap terbuka.
Dan di ujung jalan itu, terbuka sebuah lanskap yang seolah membelah waktu: muara yang bertemu laut, tenang dan jernih, seperti meditasi alam yang tak pernah usai. Pasir putih membentang luas, sempurna untuk memijak, berlari, atau menunggang kuda—seperti yang kami lakukan. Seekor kuda Sandelwud dituntun lembut, siap mengantar kami melintasi hamparan waktu dan ruang, sembari mengenakan kain adat, seolah menjadi ksatria Sumba yang kembali dari perburuan panjang.
Ratenggaro bukan sekadar kampung adat. Ia adalah nadi budaya yang berdetak pelan, tapi pasti. Ada mistik dalam tiap sudutnya, ada sejarah yang tidak diajarkan di sekolah, ada getaran tanah yang menyapa langkah kaki kami—mengingatkan bahwa kami bukan hanya wisatawan, tapi saksi sebuah peradaban yang bertahan melawan gempuran zaman.
Dari sudut semenanjung kecil, kami melihat Ratenggaro dari kejauhan. Uma Kelada tampak seperti mahkota raksasa. Sebuah penanda bahwa di sini, manusia dan alam tidak berseteru. Mereka menyatu.
Magis Ratenggaro tidak dibuat-buat. Ia muncul dari kesunyian yang terjaga, dari muara yang menyapa samudra, dan dari manusia-manusia yang dengan setia menjaga rumah, tanah, dan tradisi.
Ratenggaro bukan hanya destinasi. Ia adalah pengingat, bahwa di tengah dunia yang terus berubah, ada tempat yang memilih menjaga, bukan melupakan. Dan di situlah, kita temukan sesuatu yang jarang ditawarkan tempat lain: kedamaian yang mendalam, dan sensasi yang tak bisa dijelaskan dengan kata, hanya bisa dirasakan.
Ratenggaro adalah muara dari masa lalu yang mengalir ke masa depan. Di sinilah, Sumba mengajarkan kita untuk melihat bukan hanya dengan mata, tapi juga dengan hati.

