gbm.my.id – Monika, gadis asal Aimere, Ngada, mendadak viral di media sosial. Video-video yang ia unggah di Facebook memancing gelombang reaksi, dari tawa hingga kemarahan. Ada yang menganggapnya hiburan semata, ada pula yang menilai kontennya merendahkan sesama orang NTT. Monika sendiri menyebut kelompoknya dengan istilah “rakat,” sebuah kata yang kini kembali mengemuka dan memicu perdebatan.

Sejatinya, “rakat” bukan kata baru bagi orang NTT di perantauan. Kata ini sering terdengar dalam percakapan harian, terutama di kalangan mahasiswa di tanah Jawa. Secara etimologis, “rakat” berasal dari kata “masyarakat” dan merujuk pada orang-orang Indonesia Timur, khususnya NTT, yang berada di luar kampung halaman. Namun, dengan hadirnya Monika dan videonya, “rakat” bukan sekadar label sosial, melainkan juga cermin identitas dan perdebatan tentang jati diri.

Monika dan Kontroversi “Rakat”

Sejumlah orang menikmati video Monika sebagai hiburan ringan di tengah hiruk-pikuk dunia maya yang dipenuhi isu politik dan berita serius. Namun, tak sedikit pula yang merasa tersinggung, terutama ketika Monika menyebut “rakat” dengan embel-embel kampungan dan miskin. Bagi mereka, ini bukan sekadar lelucon, melainkan bentuk penghinaan terhadap kelompoknya sendiri. Beberapa bahkan membandingkannya dengan karakter Mina Ancur dari lagu era 80-an—seseorang yang melupakan asal-usulnya setelah tiba di kota.

Tetapi, benarkah Monika berniat merendahkan? Ataukah ini hanya bentuk ekspresi khas dari seorang anak muda yang mencoba mencari tempat di dunia maya? Monika sendiri dalam beberapa kesempatan menyebut dirinya juga “rakat.” Ini memperlihatkan bahwa istilah tersebut bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang dirinya sendiri.

“Rakat” sebagai Cermin Sosial

Seiring waktu, “rakat” menjadi lebih dari sekadar label etnis. Kata ini mencerminkan perubahan sikap, perilaku, dan bahkan penampilan orang NTT di perantauan. Dalam percakapan sehari-hari, “rakat” kerap digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dianggap berusaha menyesuaikan diri dengan budaya baru, kadang dengan cara yang terlihat mencolok atau berlebihan.

Misalnya, seseorang yang baru tiba di kota besar mungkin mengubah gaya bicara, menggunakan dialek daerah setempat meskipun berbicara dengan sesama orang NTT. Atau, mereka yang mengadopsi penampilan baru—meluruskan rambut, memakai riasan tebal, atau mengenakan kacamata oversized agar terlihat lebih modern. Bagi sebagian orang, perubahan ini bisa menjadi bahan candaan. Tetapi bagi yang lain, ini bisa terasa sebagai bentuk pengingkaran terhadap akar budaya sendiri.

Dilema Identitas dan Kebanggaan Linguistik

Fenomena “rakat” mengingatkan kita pada dinamika bahasa dalam komunitas perantauan. Seperti halnya “rakat” yang muncul dari penyederhanaan “masyarakat,” orang NTT juga kerap mempersingkat kata atau frasa dalam percakapan sehari-hari. Contohnya, “Saya pergi makan” menjadi “Sa pi makan.” Di telinga orang luar, ini bisa terdengar asing, bahkan lucu. Namun, bagi penutur aslinya, ini adalah bagian dari identitas linguistik yang unik.

Tren ini semakin tampak dalam musik. Lagu “Sa Su Sayang” yang dipopulerkan Dian Sorowea, misalnya, menjadi viral karena memadukan bahasa khas Indonesia Timur dengan melodi yang mudah diingat. Begitu pula dengan “rakat,” yang kini semakin dikenal luas berkat Monika dan perdebatan yang mengikutinya.

Apa yang Salah dengan Monika?

Monika tidak salah. Dia hanya menampilkan realitas yang sudah ada, meski dengan gaya yang kontroversial. Yang menarik, reaksi terhadap video Monika justru mencerminkan kepekaan dan kebanggaan orang NTT terhadap identitas mereka. Sebagian merasa bangga karena bahasa dan budaya mereka dikenal lebih luas, sementara yang lain merasa perlu mempertahankan martabat komunitasnya dari stereotip negatif.

Yang perlu kita sadari adalah, energi kita lebih baik digunakan untuk merayakan kekayaan linguistik dan budaya sendiri daripada sibuk berdebat soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Jika “rakat” kini menjadi populer, mengapa tidak kita gunakan sebagai alat untuk membangun pemahaman dan kebanggaan akan identitas kita sendiri?***