gbm.my.id – Perjalanan menuju Weekuri terasa begitu sunyi. Tak seperti yang kubayangkan, tak ada riuh anak-anak yang biasanya berlarian menyambut pengunjung. Hanya orang dewasa yang sibuk dengan lapak dagangan mereka—tenunan warna-warni dan aksesoris khas Sumba terpajang rapi di antara mereka. Aroma laut dan angin yang berembus dari celah-celah pepohonan menemani langkah kami melewati para pedagang.
Kami menyusuri track semen yang mengarah ke bibir danau, tempat perairan jernih bertemu dengan samudra luas. Weekuri kini telah berubah, lebih tertata, namun tetap mempertahankan kesan alami. Jembatan kayu membentang di atas batu karang yang tajam, menghubungkan dua sisi danau yang tampak tenang dari kejauhan.
Aku mengarahkan pandangan ke bawah, ke tangga yang menurun ke tepian danau. Di sana, sekumpulan anak berenang dengan ceria. Mereka berlompatan dari tebing ke air sebening kaca, tawa mereka berderai, seakan tanpa beban. Pemandangan itu membawa ingatanku kembali ke masa kecil di kampung—hari-hari penuh kebebasan, berenang di sungai tanpa rasa takut, menikmati alam tanpa batas. Aku mengabadikan momen itu dari kejauhan, membiarkan mereka larut dalam dunia kecil mereka yang penuh kegembiraan.
Lain cerita di Pantai Mandorak. Begitu kaki menginjak pasir putihnya, kami langsung disambut oleh sekumpulan anak-anak. Mereka datang dengan penuh antusias, hampir sepuluh orang jumlahnya. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu, dan keramahan mereka tak bisa diabaikan begitu saja.
“Foto, Kak!” seru salah satu dari mereka, sambil menarik-narik ujung bajuku. Aku tersenyum dan mengangguk.
Satu per satu mereka mendekat. Aku bersandar pada tembok batu setinggi dada, sementara beberapa dari mereka duduk dan berdiri di pagar batu. Tiba-tiba, seorang anak melingkarkan selendang kecil di leherku, sementara yang lain dengan jahil meletakkannya di kepalaku. Aku tertawa, membiarkan mereka bermain-main sesuka hati. Setelah berfoto bersama, mereka menawarkan selendang itu dengan harga lima puluh ribu rupiah.
Kami berjalan lebih dekat ke laut, diikuti oleh anak-anak yang tak ingin kehilangan kami dari pandangan mereka. Aku mengajak mereka untuk berfoto dengan latar belakang garis pantai yang unik, laut biru yang bersih, dan langit yang cerah. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menawarkan diri sebagai fotografer dadakan. Dengan penuh percaya diri, ia mengambil kamera dan mengabadikan seorang teman seperjalananku dalam bingkai yang sederhana namun berkesan.
Hingga saat kami meninggalkan Pantai Mandorak, mereka masih setia membuntuti, melambaikan tangan dengan senyum yang sulit dilupakan.
Di Kampung Adat Ratenggaro, suasananya tak jauh berbeda. Begitu aku keluar dari perkampungan menuju pantai, anak-anak berlarian mendekat sambil berteriak, “Mister! Mister!” Aku hanya tersenyum, lalu mengajak mereka berfoto bersama. Tanpa ragu, mereka merapat, seakan kami sudah lama saling mengenal. Ada sesuatu yang hangat dalam kebersamaan ini, sesuatu yang mengingatkanku pada masa-masa kecil yang penuh persahabatan tanpa sekat.
Setelah sesi foto selesai, aku mengucapkan, “Thank you.” Mereka pun serempak menirukannya, “Tenk yu, tenk yu,” dengan logat khas Sumba yang begitu kental.
Namun, ada satu pertanyaan yang terus mereka lontarkan sejak pertama bertemu: “Kenapa kakinya?”
Aku tersenyum, lalu menunjukkan bahwa fisik bukanlah penghalang untuk menikmati hidup, untuk bertualang, dan untuk merasakan keindahan dunia. Mata mereka menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, mungkin juga dengan kekaguman yang polos.
Di tanah Humba ini, aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan alam—aku menemukan kehangatan dan ketulusan dalam wajah eksotik anak-anak pemilik negeri ini. Mereka adalah cerminan kebebasan, keberanian, dan kegembiraan yang murni, seperti ombak yang tak pernah lelah menyapa pantai, seperti angin yang selalu membawa cerita dari tanah Sumba yang megah. **