gbm.my.id – Sore itu, Jumat (21/05/2021), matahari mulai condong ke barat ketika kami bersiap meninggalkan Ruteng menuju Labuan Bajo. Travel Gunung Mas menjemput kami di Hotel Viktori tepat pukul 16.00 WITA. Namun, perjalanan tidak serta-merta dimulai. Seperti lazimnya perjalanan travel, kami harus menunggu jemputan penumpang lain di sekitar Cewonikit.
Dari Cewonikit, travel keluar melewati Kampung Ka, kemudian masuk ke jalur utama Trans Flores. Sepanjang jalan, tampak geliat aktivitas warga. Di kampung itu, suasana begitu sibuk—panggung sedang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Bapak Gubernur keesokan harinya. Sore semakin tua, dan matahari mulai bersembunyi di balik perbukitan.
Mobil yang kami tumpangi mulai menapaki jalur kenangan. Jalan ini bukan sekadar aspal dan kelokan bagiku, tetapi jejak masa remaja. Di sinilah, bertahun-tahun silam, aku menempuh pendidikan di St. Klaus, lembaga berasrama yang menyimpan banyak cerita. Namun, kenangan itu terganggu oleh rasa mual yang mendadak datang. Aku mencoba memejamkan mata, tapi nyatanya tidak bisa. Barangkali, efek jalan Ruteng-Labuan Bajo yang berkelok menjadi biangnya.
Waktu terasa panjang, tetapi akhirnya, sekitar pukul delapan malam, kami tiba di Labuan Bajo. Namun, perjalanan belum benar-benar usai. Sopir harus menurunkan penumpang satu per satu di alamat tujuan masing-masing.
Salah satu rombongan dalam mobil adalah sekumpulan wanita yang tampaknya memiliki tujuan yang sama. Mereka mengatakan ingin turun di Aloha. Namun, penumpang lain meragukan keberadaan tempat itu. Yang mereka tahu, nama yang benar adalah Asoka. Perdebatan kecil pun terjadi.
Mengikuti petunjuk salah satu anggota rombongan, sopir membelokkan mobil ke kanan setelah melewati Hotel LBajo. Masuk ke sebuah gang, berjalan sekitar 10 meter, lalu menemukan jalan buntu. Satu-satunya jalan lain adalah belok kanan, tapi nama gangnya Komodo, bukan Aloha atau Asoka.
“Telepon lagi supaya pastikan alamatnya,” usul seorang penumpang.
Wanita yang menelepon pun mencoba lagi. Tapi, penjelasan dari seberang telepon tetap samar. “Di depan rumahnya ada pohon mangga,” katanya.
Penumpang lain mulai tak sabar. Seorang wanita dengan dialek Manggarai menyarankan, “Kasih saja HP ke om sopir biar dia yang tanya langsung.”
Ada benarnya juga. Sopir, yang sudah terbiasa dengan jalanan Labuan Bajo, mungkin lebih mudah memahami arah yang dimaksud. Dan benar saja, setelah berbicara langsung dengan pemilik rumah, alamat yang dicari ternyata hanya sepelemparan batu dari tempat kami berhenti.
Kami semua tertawa lega. Untung sopir tidak hanya mengandalkan petunjuk ‘di depan rumah ada pohon mangga’. Bayangkan jika ada sepuluh rumah dengan pohon mangga di depannya—bagaimana kami menentukan rumah yang benar? Atau bagaimana jika pohon mangga yang dimaksud sudah ditebang?
Saat rombongan itu turun, aku tak bisa menahan diri untuk ‘meloi’—melihat ke luar jendela. Dan, benar saja, pohon mangga itu ada. Sebuah petunjuk sederhana yang sempat membingungkan, tetapi akhirnya membawa kami pada akhir perjalanan yang penuh tawa.