gbm.my.id – Pantai Mandorak terletak segaris dengan Weekuri, sebuah pantai eksotis di Sumba. Meski jaraknya tidak jauh, pengunjung tidak bisa menyusuri sepanjang garis pantai dengan leluasa. Topografi laut selatan menghadirkan tantangan: tebing-tebing karang berwarna hitam pekat menjulang, hanya sedikit dihiasi pepohonan. Di sini, sulit menemukan pantai dengan hamparan pasir panjang yang biasa dijumpai di destinasi wisata lainnya.

Mendengar nama Mandorak, ingatan saya melayang ke kisah kotak Pandora dari mitologi Yunani. Sebuah dongeng yang menggambarkan betapa rasa penasaran bisa membawa bencana—dan juga harapan. Konon, Prometheus mencuri api dari para dewa untuk manusia, lalu menipu Zeus dalam sebuah undian. Zeus yang murka menghukumnya dengan Elang Kaukasus, sementara umat manusia menerima ‘hukuman’ melalui Pandora.

Pandora dinikahkan dengan Epimetheus, saudara Prometheus, dan menerima hadiah berupa kotak indah dari Zeus. Namun, Pandora dilarang membukanya. Larangan itu justru membakar rasa penasarannya, hingga akhirnya kotak tersebut terbuka. Dari dalamnya, keluar berbagai keburukan—kejahatan, penyakit, dan penderitaan—yang kemudian menyebar ke dunia. Namun di dasar kotak, tersisa satu hal: harapan.

Tentu, mitologi ini berbeda dengan realitas Pantai Mandorak. Namun, bagi saya, Mandorak adalah ‘kotak Pandora’ dalam makna yang lain. Sebuah tempat yang menyimpan keindahan luar biasa, namun juga menyimpan kesan misterius. Pantai ini tidak bisa diakses bebas. Ada gerbang yang dijaga, dan pengunjung harus membayar Rp 50.000,- per kendaraan untuk masuk.

Sopir yang mengantar kami bercerita bahwa pantai ini telah dimiliki oleh seorang warga negara Prancis. Namun, sehari-hari, masyarakat setempatlah yang menjaga kawasan ini. Saat kami tiba, sebuah rumah adat Sumba berdiri anggun di bawah naungan pohon pinus. Kami beruntung—baru saja selesai ritual adat. Sekelompok kecil masyarakat berjalan beriringan, membunyikan gong, melantunkan syair adat, dan menjinjing hewan kurban sembelihan.

Kami berhenti, membiarkan mereka lewat. Mereka berjalan khidmat, penuh kekhusyukan. Kami hanya bisa membalas dengan senyuman sebelum akhirnya sopir melajukan mobil ke area parkir. Di sana, hanya ada tembok batu sebagai pembatas.

Sekelompok anak-anak dengan penuh semangat menyambut kami. Di tangan mereka, tergenggam selendang Sumba dan berbagai aksesori seperti kalung. Mereka menawarkan dagangan dengan lugu, berharap kami membeli. Saya menyempatkan diri berfoto bersama mereka, sebelum akhirnya melangkah menuju bibir pantai.

Pantai Mandorak menyajikan panorama menakjubkan. Dari kejauhan, rumah adat yang berada di ketinggian berdiri megah, menghadap langsung ke lautan luas. Pengunjung bisa duduk di berandanya, menikmati semilir angin dan aroma khas laut. Di salah satu sisi, terdapat teluk kecil dengan pasir putih nan halus, sehalus permadani sutra. Dinding karang hitam menjulang, mengapit teluk bagaikan benteng alami. Air lautnya biru jernih, bersih tanpa noda, dengan gulungan ombak yang terus-menerus pecah di tebing karang, menciptakan gema yang menenangkan.

Ada formasi batu karang unik di sini. Dua sisi tebing berbentuk seperti mulut buaya yang saling berhadapan. Jika diperhatikan lebih seksama, salah satu tonjolan batu yang menjulur ke laut bahkan menyerupai kepala buaya. Seolah-olah teluk ini dijaga oleh dua penjaga raksasa yang abadi.

Keheningan di Pantai Mandorak terasa magis. Mungkin, di masa lalu, tempat ini pernah dikunjungi Ratu Laut atau para bidadari. Di sinilah alam berbicara dengan suara paling lirih. Deburan ombak, desiran angin, dan hamparan pasir seolah mengajak pengunjung untuk bermeditasi dalam ketenangan yang sulit didapatkan di tempat lain.

Bagi saya, Mandorak adalah kotak Pandora yang jatuh ke bumi—bukan berisi keburukan, tetapi hanya menyisakan harapan. Segala duka, kejahatan, dan penderitaan seolah lenyap, diterbangkan angin yang membelai pantai ini. Yang tersisa hanyalah keindahan dan ketenangan.

Harapan itu terpancar dari setiap sudut Pantai Mandorak. Dari karang hitam yang kokoh, dari pasir putihnya yang lembut, dari ombak dan angin yang membawa aroma laut. Inilah hadiah yang diberikan Tuhan kepada masyarakat Sumba—sebuah kotak Pandora yang isinya bukan petaka, melainkan keajaiban. *