gbm.my.id – Sebuah unggahan di grup WhatsApp BKD NTT Yes 3x membuat hati saya bergetar. Foto Om Thomas bersama rekan-rekannya terpampang jelas, disertai sebuah pesan penuh haru dari Ibu Agnes Odjan:
“Hari ini terakhir kebersamaan kami dengan Pak Thomas karena tanggal 01 November 2020 Pak Thomas memasuki masa purna bakti. Terima kasih kepada Pak Thomas atas kerja sama selama ini. Maafkan kami apabila ada salah kata, salah ucap, dan perbuatan kami yang menyinggung perasaan dan hati Pak Thomas. Bukan perpisahan yang kami tangisi, namun pertemuanlah yang disesali. Selamat memasuki masa purna bakti, Pak Thomas.”
Seketika, perasaan menyesal menyergap saya. Saya teringat momen terakhir kami di kantor. Hari itu, saya dan Ibu Dewi berpapasan dengan Om Thomas yang mengenakan kemeja merah muda dan balutan kain tenun. Ibu Dewi sempat bercanda, “Kalau merayakan ulang tahun, undang o?” Om Thomas hanya tersipu. Saya pun tak bertanya lebih jauh.
Pagi itu seperti biasa, saya duduk di meja belakang menunggu apel pagi. Om Ir sudah di kursinya, sementara Om Thomas berdiri di belakangnya. Saya pun menggodanya dengan mengayunkan tongkat pura-pura hendak menginjak kakinya. Ia spontan menarik kakinya sambil berkata, “Bu, jangan begitu.” Kami pun tertawa. Itu candaan khas kami setiap kali bertemu, baik di kantor maupun di luar.
Usai apel, kami kembali ke ruang masing-masing. Siapa sangka, hari itu adalah hari terakhir Om Thomas di kantor sebelum memasuki masa purna tugas. Saya tak sempat mengucapkan sepatah kata pun, tak sempat menjabat tangannya. Hanya keyakinan yang tersisa: suatu saat saya pasti akan bertemu dengannya lagi.
Saya mengenal Om Thomas sejak 2009, saat saya dan beberapa rekan—Neny Anggraeny, Sandra Isliko, Santa Anna, Philip Tatut, Tiny Tousalak, dan Ema Duli—diterima di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi NTT. Saya ditempatkan di Subbagian Diklat dan Formasi, sementara Om Thomas sudah lebih dulu mengabdi di Bidang Mutasi. Dari awal, saya melihat bagaimana beliau menjalani pekerjaannya dengan ketelitian, ketekunan, dan loyalitas yang luar biasa.
Om Thomas, Om Taniu (almarhum), dan Om Kain Faot adalah sosok senior yang selalu bersahabat. Tak ada jarak antara kami. Saya sering mampir ke meja mereka, baik untuk bercanda maupun untuk bertanya tentang aturan kepegawaian. Mereka adalah referensi hidup yang lebih berharga daripada sekadar membaca buku atau berselancar di dunia maya.
Setiap hari, meja mereka dipenuhi SK yang harus dikoreksi. Pensil di tangan mereka terus bergerak, memastikan tak ada kesalahan. Dan setiap jam pulang, mereka selalu merapikan kembali meja masing-masing. Begitulah ketelitian yang menjadikan mereka ‘jawara bertahan’ di Bidang Mutasi, dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya, hingga akhirnya tiba waktunya Om Thomas berpamitan.
Namun, Om Thomas bukan hanya sekadar rekan kerja bagi saya. Ia adalah sahabat, sosok yang rendah hati, penuh senyum, dan suka bercanda. Kami punya sapaan khas: “O Kase.” Tiap kali bertemu, entah siapa yang lebih dulu menyapa, selalu dengan gaya bercanda dan sering kali saya pura-pura menginjak kakinya dengan tongkat saya.
Satu kenangan yang tak terlupakan adalah saat saya mulai membawa motor tiga roda sendiri. Tanpa saya sadari, Om Thomas selalu menguntit dari belakang, memastikan saya baik-baik saja. Setiap kali bertemu di kantor, ia bercanda, “Saya tidak bisa kejar roda tiga, lari pung cepat.” Dan saya pun membalas, “Saya kalau sudah di atas motor, tidak bisa lihat kiri-kanan lagi. Fokus ke depan.”
Kini, kenangan itu tinggal memori. Tak akan ada lagi candaan atau sapaan khas kami. Tetapi, foto yang diposting Ibu Agnes membawa saya kembali ke momen itu. Saya mencoba mengingat ekspresi wajahnya pagi itu. Seakan ada sesuatu yang tersembunyi, sebuah rasa yang tak terungkapkan.
Namun, kemeja merah muda yang ia kenakan hari itu berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Warna itu melambangkan cinta—bukan hanya kepada pekerjaannya, tetapi juga kepada orang-orang yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjangnya sebagai PNS. Merah muda adalah warna kasih sayang, simbol perasaan yang mungkin tak sempat ia ungkapkan secara lisan.
Bagi saya, kemeja merah muda itu adalah pesan tak bersuara, tetapi begitu lantang dalam makna. Itu adalah cara Om Thomas menyampaikan terima kasihnya kepada semua orang yang pernah berjalan bersamanya dalam pengabdian. Itu adalah simbol cinta yang ia persembahkan, tidak hanya untuk BKD NTT, tetapi juga kepada Sang Maha Pencipta yang telah menuntunnya menuntaskan tugas dengan paripurna.
Di penghujung pengabdian,
kadang kita lupa segalanya.
Tak sanggup berkata-kata.
Lidah kelu.
Gugup.
Gagap.
Segala perasaan melebur menjadi berjuta rasa.
Air mata merangkumkan semuanya.
Cinta memegahkan dirinya.”
Terima kasih, Om Thomas, untuk pengabdian, kebersamaan, persahabatan, dan cinta yang telah kau bagikan. Selamat memasuki babak baru dalam perjalanan hidupmu. Semoga segala kebaikan yang telah kau tanamkan, tumbuh menjadi berkat yang tak berkesudahan. (gbm)