gbm.my.id – Ketika video Romo Bento viral, perasaan takjub menyelimuti hati banyak orang. Apa yang membuat umat begitu sulit melepas kepergiannya?
Bandara Mali menjadi saksi bisu perpisahan Romo Bento dengan umat yang dicintainya. Tangis histeris anak-anak dan remaja Moru menggema, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikannya. Perpisahan ini bukan sekadar momen, melainkan bukti betapa mendalam jejak pengabdian Romo Bento.
Sejak saat itu, saya berjanji dalam hati: jika ada kesempatan ke Alor, saya akan menelusuri jejaknya. Dan semesta seolah mendengar, Rabu, 7 Juli 2023, saya bersama tim berkesempatan melaksanakan tugas di Alor, sang “Surga di Timur Matahari.”
Menapaki Jejak Romo Bento
Minggu, 11 Juli 2022, tiba waktunya saya memenuhi janji. Saya menghubungi beberapa kenalan di Alor—Sil, sepupu saya; Dece, sahabat sekaligus ASN Pemkab Alor; dan Anis, teman lama yang pernah menjadi pemandu saya di Alor tahun 2014. Bersama Anis, saya menuju Moru, dengan satu tujuan: merayakan misa Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus di sana.
Namun, keterlambatan tak terhindarkan. Kami baru berangkat pukul 08.30, sedangkan misa dimulai pukul 08.00. Meski terlambat, semangat kami tak surut. Anis memacu motornya melewati jalanan yang sebagian besar mulus, namun menjadi tantangan begitu memasuki perkampungan menuju Gereja Katolik St. Maria Fatima. Jalanan berbatu memaksa kami lebih berhati-hati.
Saat tiba, nyanyian persembahan masih menggema dari dalam gereja yang menghadap Teluk Mutiara. Dengan perasaan bersalah karena terlambat, saya menapaki tangga gereja dan berdiri di depan pintu, menyerap suasana sakral yang begitu khas.
Suasana misa di Moru begitu bersahaja. Busana umat mencerminkan kesederhanaan yang meneduhkan. Saat menerima komuni, saya merasakan tatapan umat tertuju pada saya, mungkin karena saya satu-satunya orang asing di antara mereka. Namun, suasana universalitas Gereja Katolik segera menyatukan saya dengan mereka.
Usai misa, saya berkesempatan berbincang dengan salah satu tokoh umat. Di beranda gereja, kami berbicara tentang perayaan iman dan sejarah gereja ini. Begitu sepi melanda, saya masuk ke dalam gereja, berdoa di depan altar, dan menyerap keheningan yang begitu dalam.
Kisah Simon Moy: Pewaris Iman Katolik di Moru
Sebelum meninggalkan halaman gereja, seorang bapak bernama Don mengajak saya berbincang. Dari dialah saya mendengar kisah Simon Moy, seorang pria asal Watakika yang menjadi tonggak sejarah masuknya Katolik di Moru.
Simon Moy dikenal sebagai seorang pemberontak terhadap penjajah Belanda. Akibatnya, ia disiksa, dipenjarakan, bahkan dibuang ke Makassar. Di tanah pengasingan itulah ia bertemu dengan seorang imam Katolik yang kemudian memberinya “perangkat rohani”—Kitab Suci, Salib, dan buku-buku doa. Pastor itu mempercayakan tugas besar: menyebarkan iman Katolik di Alor.
Namun, Simon Moy ragu. Ia merasa tidak layak. Latar belakangnya sebagai petani dan pemberontak membuatnya takut menjalankan perutusan itu. Akhirnya, ia memilih menghindar.
Hingga suatu hari, Simon Moy ditemukan mati di tengah hutan. Tubuhnya penuh luka dan belatung. Saat keluarganya hendak menjemput jenazahnya, keajaiban terjadi. Simon Moy bangkit dan berkata, “Saya, Simon Petrus.” Luka-lukanya sembuh, belatung luruh dari tubuhnya. Peristiwa ini menjadi titik balik. Ia menerima panggilannya dan dengan penuh keyakinan mulai menyebarkan ajaran Katolik.
Keberanian Simon Moy akhirnya membawa perkembangan Katolik di Moru dan sekitarnya. Ia dituduh sebagai penyebar agama baru, namun perjuangannya tak sia-sia. Kini, makamnya berada di pelataran Gereja Katolik St. Maria Fatima—menjadi prasasti sejarah perjalanan iman umat Moru.
Sebuah Jejak Iman yang Abadi
Kisah Simon Moy mengingatkan saya pada Simon Petrus, murid Yesus. Seperti Simon Petrus yang awalnya meragukan kuasa Tuhan, Simon Moy juga mengalami pergulatan iman. Namun, keduanya dipilih Tuhan untuk menjadi pewarta kabar gembira.
Cita-cita awal saya adalah menelusuri jejak Romo Bento. Namun, Tuhan justru membawa saya bertemu kisah yang lebih besar—kisah tentang iman, keraguan, dan kebangkitan seorang pria yang kini dikenang sebagai pewaris iman Katolik di Moru.
Moru bukan sekadar tempat persinggahan. Di sana, iman diwariskan dari generasi ke generasi. Di sana, jejak seorang Simon Moy tetap hidup dalam kenangan umatnya. Dan saya bersyukur, meski hanya sesaat, telah menjadi bagian dari perjalanan iman ini.
Warisan Rohani yang Tak Terlupakan
Perjalanan ke Moru tidak hanya mempertemukan saya dengan kisah Romo Bento dan Simon Moy, tetapi juga menggugah kesadaran akan nilai-nilai keteguhan iman. Setiap jejak sejarah di tempat ini bercerita tentang keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan terhadap panggilan hidup.
Saya pun bertanya-tanya, apa yang membuat iman tetap bertahan di tengah berbagai tantangan zaman? Jawabannya ada pada orang-orang seperti Simon Moy, yang meski sempat ragu, akhirnya memilih untuk setia.
Bagi umat Katolik di Moru, makam Simon Moy bukan sekadar batu nisan. Itu adalah simbol perjalanan iman yang tak tergantikan. Setiap kali seseorang berdiri di sana, mereka diingatkan bahwa iman bukan hanya tentang percaya, tetapi juga tentang keberanian untuk hidup dalam panggilan Tuhan.
Saat meninggalkan Moru, saya membawa lebih dari sekadar kenangan. Saya membawa oleh-oleh iman—sebuah kesadaran bahwa setiap langkah dalam hidup ini bisa menjadi bagian dari sejarah iman yang lebih besar.
Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti, saya akan kembali ke Moru, bukan hanya untuk mengenang, tetapi juga untuk menyelami lebih dalam jejak iman yang telah tertanam kokoh di tanah ini.