gbm.my.id – Dr. Cyntia memenuhi ruang benakku. Sosoknya hadir seperti bayang-bayang senja yang enggan tenggelam. Ia adalah wanita seperjalanan, menyisir selatan Pulau Timor bersamaku. Malam itu, ketika kelopak matanya tak kuasa menahan kantuk, ia menyandarkan kepala di bahuku. Rambutnya menyibak, meninggalkan harum yang menancap di ingatan.
Senyuman dr. Cyntia di sebuah rumah makan di Kualin membayang di benakku. Hari-hari pertama di Betun, kenangan itu terus mengusik. Dalam anganku, aku kembali ke saat ketika kepalanya bertumpu pada bahuku. Perasaan jatuh cinta berkelindan di dasar sanubariku, liar namun tak bersuara.
Di tas tangannya, aku tinggalkan jejak. Secarik kertas bertuliskan nomor ponselku, kuselipkan diam-diam saat ia bercumbu dengan mimpi-mimpi indahnya. Harapku sederhana—sebuah pesan, atau mungkin telepon di tengah malam sunyi, di bawah sinar rembulan. Namun seminggu berlalu di Malaka tanpa kabar darinya. Aku hanya mengingat senyuman terakhirnya saat turun dari mobil di depan kosnya. Tak ada kata perpisahan, hanya ucapan terima kasih kepada semua penumpang.
Mungkin baginya, aku tak lebih dari remah dalam perjalanan. Ia lupa, atau mungkin pura-pura lupa, bahwa bahuku pernah menjadi sandaran. Bagiku, itu adalah perjalanan paling romantis, meski dirasakan sepihak. Entah bagaimana dengan dr. Cyntia, apakah ia juga merasakan hal yang sama?
Aku harus melawan perasaan ini. Aku datang ke Betun bukan untuknya, tetapi untuk penelitian dari kampusku. Cyntia hanyalah fatamorgana—bayang-bayang semu yang hadir di awal keberadaanku di sini. Jika pun ia nyata, ia bukan untukku. Ada seseorang yang menunggunya, pria yang mengantarnya di terminal Oesapa kala itu.
Seiring waktu, bayangannya memudar. Lalu datanglah Jessica. Ia membuyarkan segala ingatanku tentang Cyntia. Seorang gadis desa dari Kletek, yang menyambutku dengan senyuman sehangat matahari terbit. Dandanannya sederhana, tetapi pesonanya memikat. “Ini Morin,” seorang lelaki tua memperkenalkannya padaku. Aku terkejut, sebab kepadaku ia sebelumnya memperkenalkan diri sebagai Jessica.
“Akh, sudahlah. Morin atau Jessica, sama saja,” gumamku dalam hati.
Ternyata Morin, eh, Jessica, adalah putri sulung lelaki tua itu. Aku menyadari keistimewaannya sejak pertama bertemu di gereja. Ia memimpin paduan suara misa senja dengan keanggunan yang tak biasa. Aku hanya duduk di bangku terdepan, menatapnya dengan kagum. Ketika akhirnya aku berani menyapa usai misa, tangan kami berjabatan. Kehangatan merambat dari telapak tangannya ke sanubariku.
“Hi, aku Marvel.”
“Aku, Jessica.”
“Jessica?” Aku mengulang, mencoba mengabadikan nama itu dalam ingatan.
“Apa arti sebuah nama?” tanyanya, seakan menggoda.
“Tentu setiap nama memiliki makna.”
“Lantas, apa artinya Jessica?”
“Penantian,” jawabku spontan, tanpa benar-benar tahu kebenarannya.
Ia hanya tersenyum. Entah mengamini atau sekadar membiarkan aku percaya pada jawabanku sendiri.
Lantaran Jessica, aku mengubah lokasi penelitian. Aku memilih kampungnya, mengikuti langkahnya. Ia membawaku menyusuri rumah-rumah adat, menjelaskan setiap detail arsitekturnya. Ia bukan sekadar pemandu, tetapi juga guru. Pengetahuannya tentang budaya Malaka begitu luas. Kadang kala, ia harus menerjemahkan percakapanku dengan warga yang tak fasih berbahasa Indonesia.
Hari demi hari, kedekatan kami tumbuh tanpa kata-kata cinta yang terucap. Namun sikap berbicara lebih dari seribu kata.
Suatu pagi sebelum fajar merekah, aku mengajaknya ke We Matan Tubaki. Kami melaju dengan motor maticnya, melewati persawahan yang luas. Aku sengaja mempercepat laju kendaraan, berharap ia memeluk pinggangku erat. Taktikku berhasil.
Saat tiba, kami berjalan ke bibir mata air. Aku menceburkan kaki ke dalam kolam yang jernih, merasakan kesejukannya merayap perlahan. Jessica ragu-ragu.
“Masukkan kakimu, Jess.”
“Dingin, Marvel.”
Aku menggenggam tangannya, menariknya ke dalam air. Ia berteriak, tetapi matanya berkilau bahagia. Kami bermain air layaknya anak-anak, membasahi satu sama lain dengan tawa yang membahana di tengah hutan.
Dalam keheningan, aku menatapnya. “Mulai sekarang, aku akan memanggilmu Morin. Nama itu cantik, seperti dirimu.”
“Jessica.”
“Morin.”
Ia terdiam. Mungkin, di dalam hatinya, ia mulai menerima nama itu kembali.
Aku ingin tahu arti dari nama itu. Malam sebelum kepergianku, aku bertanya pada ibunya.
“Apa arti Morin, Mama?”
Sang ibu tersenyum. “Nama itu diberi oleh ayahnya. Morin berarti harum. Saat ia lahir, udara di sekelilingnya dipenuhi aroma bunga yang semerbak.”
Aku menatap Morin. Ia tersenyum malu, tetapi tidak membantah.
Pagi terakhirku di Kletek, aku menyerahkan sebuah bingkai untuknya. Di dalamnya bukan foto, melainkan selembar daun kering berbentuk hati, dengan tulisan “I Love You” dari batang tumbuhan menjalar.
Morin tertegun. Kedua orang tuanya tersenyum haru. Ia tak berkata-kata, hanya memelukku erat.
Saat meninggalkan rumahnya, aku tahu satu hal pasti: kenangan ini akan abadi, sebagaimana harum yang melekat pada nama Morin.