gbm.my.id – Suasana Larantuka terasa damai usai hiruk-pikuk Pilkada Flotim 2017. Meski sempat beredar isu di “mulutgram” bahwa akan ada aksi demonstrasi, semangat petualangku tetap menyala. Kota Reinha ini selalu memikat dengan sejarah dan keindahannya. Namun, pagi itu saya bangun terlambat. Kesempatan menelusuri jejak historis kota pun menyempit karena tepat pukul 12.00 siang, saya dan rombongan harus bertolak ke Gewayan Tana.
Dalam waktu yang tersisa, saya bergegas menuju pasar untuk membeli oleh-oleh khas Larantuka: jagung titi dan ikan kering. Saya memilih naik angkutan kota, berharap perjalanan ini menjadi kesempatan kecil merasakan denyut nadi masyarakat setempat. Namun, begitu tiba, sopir memberi tahu bahwa pasar lama sedang direnovasi dan seluruh aktivitas pasar dipindahkan ke lokasi sementara. Tanpa pikir panjang, saya mengikuti arahan dan melanjutkan perjalanan.
Saat turun di pasar sementara, suasana masih lengang. Beberapa kios dan tenda masih tertutup. Saya bertanya kepada seorang warga tentang tempat menjual ikan kering, dan ia mengarahkan saya ke sebuah tenda. Di sana, seorang bapak tua menunggu. Sayangnya, pilihan ikan kering yang tersedia tidak sesuai harapan saya. Namun, tak ada pilihan lain. Apapun jenisnya, asalkan ada buah tangan untuk dibawa pulang ke Kupang.
Karena membeli dalam jumlah besar dan harus dikemas rapi untuk dibawa dalam pesawat, saya berpamitan sejenak untuk mencari tepung kopi, tali rafia, dan kardus. Saat sedang berkeliling kios, seorang ibu menawarkan ikan kering. Saya menyampaikan bahwa saya mencari jenis ikan lain. Dengan sigap, ia menyarankan saya untuk pergi ke pasar Oka, tempat berbagai jenis ikan kering tersedia. “Di sana banyak ikan batu,” katanya—jenis ikan yang hidup di dasar laut. Ibu itu pun dengan ramah mencarikan saya ojek untuk menuju ke sana.
Perjalanan ke pasar Oka lumayan jauh. Saya bisa saja naik angkutan kota, tetapi demi efektivitas waktu, saya memilih ojek. Begitu tiba, suasana pasar begitu ramai. Para pedagang meluber hingga ke badan jalan, membuat arus lalu lintas sedikit terganggu. Bersama sang ojek, saya menyusuri lorong-lorong pasar, hingga akhirnya bertemu dengan para penjual ikan langganan ibu yang tadi saya temui. Beberapa ikat ikan batu berhasil saya dapatkan. Harganya cukup mahal, tetapi demi oleh-oleh terbaik, saya tak ragu membelinya.
Saat keluar dari pasar, sebuah pelabuhan kecil mencuri perhatianku. Saya meminta izin kepada sang ojek untuk berhenti sejenak. Dari pelabuhan mungil ini, pemandangan membentang luas: Kota Larantuka di kejauhan, Pulau Adonara dan Pulau Solor yang gagah, serta puncak megah Lewotobi. Lautnya biru, tenang, dan seolah berbisik dalam alunan ombaknya. Ada sesuatu yang menggoda dalam keheningan itu, sesuatu yang mengusik naluri menulisku. Aku biarkan hati dan pikiranku merangkai bait-bait sahaja di tengah pesona alam yang tak terbantahkan…
PAGI INI
Fajar baru saja menyapa
Jejaknya belum sirna
Hening bening teluk
Gemuruh ombak sirna
Riak ombak menari-nari
Mengiringi mentari melangkah
Aduh…
Indah nian pagi ini
Rupa alam sahaja
Indah mengagum kalbu
Menghantarku pergi
Dari kota ini
[Oka-Larantuka, 23.2.17]
BERKACA
Bening laut ini
Sebening cermin
Rupa terpantul
Pada permukaan teluk
Hening sejenak
Berkaca padanya
Diriku tercermin
Pada permukaan
Itulah adanya diriku
Seperti terpancar pada permukaan
Sebagaimana diciptakan
Bersama semesta
Kami bersatu
[Oka-Larantuka, 23.2.17]
MERENGKUH HASRAT
Solor di seberang
Kisah panjang Nusa Bunga terpatri
Bersamanya
Hasratku ingin merengkuh
Dalam genggaman jiwaku merindu
Meluapkan hasrat
Rindu mendalam
Menyebrangi teluk
Syahdu menghanyutkan
Memendam misteri
Surutkan hasrat
Pandanginya saja dari sini
Mengobati rindu
Lewotobi dimahkotai rumbai kabut
Jauh mata memandang
Adalah kenangan
Sebelum berpisah dengan Nagi
[Oka-Larantuka, 23.2.17]

