gbm.my.id – Sehari sebelumnya, kami telah menyusun agenda perjalanan: Rumah Budaya, Danau Wekuri, Pantai Mandorak, dan Kampung Adat Rate Nggarong. Semuanya menjanjikan pengalaman budaya yang kaya dan lanskap alam yang menakjubkan.
Pagi itu, langit mendung menaungi saat kami meninggalkan Ella Hotel. Udara sejuk mengiringi perjalanan ke Rumah Budaya, tetapi ketika kami tiba di Danau Wekuri, seolah ada keajaiban: awan hitam tersingkap, dan sinar matahari menembus bumi. Meski cuaca mulai menghangat, pesona Danau Wekuri lebih kuat dari sengatan mentari. Kami bergegas menuju bibir danau, mengabaikan sejenak deretan lapak pedagang di sekitar.
Setelah puas menikmati keindahan danau, kami akhirnya mampir ke lapak-lapak tersebut. Beberapa menjual kelapa muda yang segar, sementara lainnya menawarkan kain tenun ikat khas Sumba Barat Daya. Saya tertarik pada selembar salendang dan spontan memutuskan untuk mengenakannya di kepala, seperti para pria Sumba dalam busana adat mereka.
Seorang pedagang membantu saya melilitkan salendang itu dengan cekatan. Dalam sekejap, saya merasa seperti seorang “Umbu”, panglima di padang savana. Senyum geli tersungging di bibir, tapi ada juga kebanggaan yang menghangatkan hati. Salendang itu bertengger di kepala sepanjang perjalanan ke Pantai Mandorak, Kampung Adat Rate Nggarong, hingga kembali ke Ella Hotel.
Malam itu, saya melepas salendang dengan hati-hati. Saya ingin mengenakannya kembali keesokan harinya saat pulang ke Kupang. Namun, ketika saya mencoba melilitkannya lagi, bentuknya menjadi kacau. Berkali-kali saya mencoba, berkali-kali pula saya gagal. Tak ada satu pun petugas hotel yang bisa membantu.
Pagi itu, sebelum berangkat, saya melangkah keluar hotel dan melihat dua pria duduk di pos satpam. Saya mendekati mereka.
“Umbu, bisa bantu saya ikat salendang di kepala?” tanya saya pada salah satunya.
Ia tersenyum. “Bisa, Kaka. Mau ikatan Sumba Timur atau Sumba Barat?”
Saya terkejut. Rupanya, ada perbedaan antara cara mengikat salendang di kedua wilayah itu.
“Mana-mana saja,” jawab saya, penasaran.
Dengan cekatan, Umbu melilitkan salendang di kepala saya, lalu menjelaskan makna di baliknya. Ujung salendang yang mengarah ke bawah melambangkan bumi, tempat manusia berpijak dan mencari penghidupan. Sementara ujung yang menjulang ke langit melambangkan Tuhan yang Maha Tinggi. Bumi adalah ibu yang memberi kehidupan, dan langit adalah tujuan akhir segala doa dan harapan.
Saya tertegun. Sebuah benda sederhana seperti salendang ternyata menyimpan filosofi yang begitu mendalam.
Setelah selesai, saya mengajak Umbu berfoto sebagai tanda terima kasih sebelum meninggalkan hotel. Di sepanjang perjalanan pulang ke Kupang, saya mengenakan “Lehu”—bukan sekadar sebagai pelindung kepala, tetapi sebagai simbol kebijaksanaan yang saya bawa pulang dari tanah Sumba.***