gbm.my.id – Weekuri bukan sekadar nama. Ia adalah legenda yang mengalir dari bibir ke bibir, menembus batas pulau, dan mengundang penasaran para pencinta alam. Keindahannya bukan hanya soal panorama, tetapi juga kisah yang melingkupinya. Bagaimana rupanya? Keajaiban apa yang tersembunyi di balik riak airnya? Semua tanya itu hanya akan terjawab saat kaki benar-benar menjejak tanahnya.
Dulu, sebelum media sosial merajalela, Weekuri hanyalah tempat sunyi yang tak banyak dikenal orang. Ia bukan destinasi utama, hanya danau asin tersembunyi di ujung barat Sumba. Namun, seiring waktu, keindahannya terungkap dan menawan hati siapa saja yang melihatnya. Foto-foto yang tersebar di dunia maya membangkitkan rasa ingin tahu, membuat wisatawan dari berbagai penjuru berbondong-bondong datang.
Saya pun tak luput dari pesona Weekuri. Panggilan keindahannya begitu kuat. Malam sebelum keberangkatan, saya bahkan sulit tidur, membayangkan bagaimana rasanya berada di tempat yang disebut-sebut sebagai pemandian para bidadari.
Pagi menjelang, saya bersiap. Mandi cepat, sarapan, lalu menunggu teman-teman di restoran hotel. Pukul 08.00 tepat, Hen—sopir sekaligus pemandu kami—sudah siap di luar. Dari hotel, kami sempat mampir ke Rumah Makan Padang untuk membeli bekal. Di Sumba, tempat wisata jarang memiliki warung atau rumah makan, jadi lebih baik bersiap.
Sebelum mencapai Weekuri, kami singgah di Rumah Budaya, sebuah lembaga yang berfokus pada studi dan pelestarian budaya Sumba. Namun, cerita tentang tempat ini akan saya bahas lain waktu. Perjalanan berlanjut melewati jalan yang pernah saya lalui saat survei lokasi sekolah baru. Saya teringat cerita lucu dari sopir saat itu tentang plat nomor kendaraan di wilayah Kodi. Kisahnya membuat kami tertawa sepanjang jalan, melupakan sejenak rasa lelah dan keprihatinan akan akses yang masih sulit.
Saya sendiri tidak hafal rute menuju Weekuri, jadi kami sepenuhnya mengandalkan Hen. Ia mengaku sudah sering mengantar tamu berkeliling Sumba, bahkan Andi F. Noya dari Kick Andy pernah menjadi salah satu penumpangnya.
Perjalanan cukup panjang, hampir 50 kilometer dari pusat kota Tambolaka. Jalanannya tidak semulus tol, penuh tantangan yang menguji kesabaran dan ketahanan tubuh. Namun, di ujung sana, Weekuri menanti, siap membayar lunas semua lelah dengan pesonanya.
Saat tiba, tak banyak kendaraan terparkir. Di sekitar area masuk, para penjual kain tenun Sumba sibuk menjajakan dagangan. Rambu dan Umbu, dua penjual yang gigih, mencoba menawarkan kainnya kepada pengunjung. Ada pula beberapa pedagang kelapa muda yang setia menanti pelanggan.
Namun, saya dan rombongan tak ingin kehilangan waktu. Kami bergegas menuju danau asin ini, melewati jalur semen yang sudah ditata rapi. Tak lama, kami sampai di jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi danau. Jembatan ini bukan sekadar penghubung, tapi juga spot fotografi yang memanjakan mata. Dari sini, pengunjung bisa mengambil foto dengan latar belakang danau biru atau dinding karang yang gagah menghadap laut. Apapun sudut pandangnya, Weekuri tetap terlihat memesona.
Di kejauhan, anak-anak lokal menunjukkan atraksi mereka. Dengan lompatan salto yang sempurna, mereka meluncur dari tebing karang ke dalam air. Setiap sorakan dan tepuk tangan dari pengunjung menjadi semacam doping, mendorong mereka untuk mengulanginya lagi dan lagi.
Weekuri, dengan airnya yang bening, dikelilingi oleh tebing karang hitam yang kokoh, memberi kesan bahwa tempat ini memang sakral. Seperti pemandian bidadari yang tersembunyi. Jika Anda datang ke sini, jangan lupa kenakan kacamata hitam—bukan untuk menghindari silau matahari, tetapi untuk membiarkan imajinasi Anda membayangkan bidadari-bidadari yang sedang mandi di perairan ini. Ha ha ha…
Keindahan Weekuri bukan sekadar cerita, tapi pengalaman yang harus dirasakan sendiri.***