gbm.my.id – Jejak perjalanan ini bermula dari janji temu dengan Yohanis Atamai, seorang sahabat yang saya kenal melalui Pak Ferdyn. Bersama, kami merencanakan eksplorasi ke beberapa situs budaya di Alor.
Saat jam di ponsel menunjukkan pukul 11.00, kami bergegas meninggalkan Hotel Pelangi dengan sepeda motor, menuju destinasi pertama: Kampung Adat Lati Fui. Letaknya sekitar belasan kilometer ke arah barat dari kota Kalabahi, menyimpan cerita masa lampau yang ingin kami telusuri.
Menapaki Jalan ke Lati Fui
Kampung Lati Fui berjarak sekitar 300 meter dari jalan utama yang mengitari teluk. Setibanya di sana, Anis memarkir motor di depan gereja, dan perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jalan setapak menuju kampung dibiarkan alami, dengan batu-batu besar yang melintang, menambah kesan autentik dan membiarkan pengunjung merasakan langsung keaslian kampung ini.
Luas kampung adat Lati Fui sekitar 400-500 meter persegi. Di bagian luar kawasan adat, berdiri beberapa rumah modern berbahan semen dan seng, sementara di dalam area kampung, rumah-rumah adat masih tetap mempertahankan keasliannya dengan material dari kayu, bambu, dan ilalang.
Sebelum memasuki pelataran kampung, kami disambut oleh ketua sanggar Lati Fui yang saat itu tengah menggergaji kayu. Dengan ramah, ia menghentikan aktivitasnya dan mengantar kami ke rumah adat, yang disebut rumah gudang.
Bertemu Mama Susana Malbiyeti
Di bawah naungan rumah adat, seorang wanita sepuh menyambut kami dengan senyum hangat. Namanya Mama Susana Malbiyeti, usianya sekitar 80-an tahun. Selain beliau, ada seorang ibu setengah baya bersama anak balitanya yang tampak sibuk dengan aktivitas rumah tangga.
Setelah berbincang sejenak, Mama Susana bangkit dan menaiki tangga menuju tingkat dua rumah gudang. Dari sana, ia menurunkan sebuah periuk tanah yang konon usianya sudah sangat tua. Sementara itu, kami mendengarkan kisah dari Bapak Martinus tentang sejarah kampung ini.
Ketua sanggar sendiri tidak tahu pasti usia Kampung Lati Fui, namun ia meyakini bahwa kampung ini sudah ada jauh sebelum ia lahir. Ia bercerita bahwa pada masa Perang Dunia II, kampung ini menjadi tempat perlindungan bagi pasukan Belanda dan Jepang. Mereka hidup berdampingan tanpa peperangan, sebuah bukti nyata harmoni yang telah diwariskan turun-temurun.
Struktur Rumah Gudang dan Filosofinya
Rumah gudang di Lati Fui berbentuk rumah panggung dengan empat tiang penyangga. Setiap tiang dilengkapi papan berukuran sekitar 1 x 0.5 meter, yang digunakan untuk menyimpan barang-barang.
Rumah ini memiliki 2-4 tingkat, di mana tingkat dasar digunakan sebagai ruang utama sekaligus dapur dan tempat menerima tamu. Tingkat kedua dijadikan kamar tidur, tingkat ketiga sebagai tempat penyimpanan perkakas atau bahan makanan, dan tingkat keempat untuk menyimpan benda-benda berharga seperti moko dan periuk tanah kuno. Atap rumah terdiri dari empat sisi yang semakin mengerucut ke atas, melambangkan hierarki kehidupan dalam budaya Alor.
Mesbah Adat: Simbol Persatuan
Di tengah kampung, terdapat mesbah adat yang tersusun dari batu dengan sebuah pohon tumbuh di tengahnya. Struktur ini mengingatkan saya pada “Peo” yang ada di kampung halaman saya di Nagekeo, sebuah simbol pemersatu bagi masyarakat adat.
Keunikan lain dari Lati Fui adalah keragaman agama yang harmonis. Warga keturunan Lati Fui menganut berbagai kepercayaan—Islam, Kristen Protestan, dan Katolik—namun tetap hidup rukun. Dalam setiap upacara adat, mereka berkumpul bersama tanpa membedakan keyakinan, mencerminkan toleransi yang tinggi di kampung ini.
Mimpi dan Harapan Warga Lati Fui
Saat hendak meninggalkan kampung, saya mengisi buku tamu dan terkejut melihat ratusan nama wisatawan mancanegara yang telah berkunjung. Kampung ini ternyata sudah menarik perhatian dunia, meski masih membutuhkan banyak perbaikan.
Ketua sanggar bercita-cita menata ulang kampung ini agar lebih tertata dan terjaga, seperti Kampung Adat Takpala yang terletak sekitar tiga kilometer dari sini. Namun, keterbatasan dana menjadi kendala utama.
Mimpi itu bisa terwujud jika ada perhatian dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Wisatawan asing saja peduli dengan pelestarian budaya seperti Lati Fui, apalagi kita yang memilikinya? Semoga suatu hari nanti, kampung ini mendapatkan perhatian yang layak agar tetap lestari bagi generasi mendatang.***