gbm.my.id – Pulau Sumba, dengan eksotisme alam dan budayanya, selalu berhasil memikat siapa pun yang menginjakkan kaki di sana. Bukan sekadar destinasi wisata, Sumba adalah kisah yang terus terukir di hati, magnet yang selalu menarik untuk kembali.

Aku telah berkali-kali ke Sumba, namun hasrat untuk menjelajah tak pernah surut. Begitu pula dengan sahabat-sahabat seperjalananku. Keindahan Sumba seperti hipnotis, memanggil siapa pun yang pernah datang untuk kembali.

Setelah menyelesaikan tugas di Waingapu, kami—Dewi, Kiki, Yati, Unun, Primus, Karel, dan aku—memutuskan untuk berpetualang ke Air Terjun Tanggedu. Awalnya, rencana kami adalah mengunjungi Bukit Warinding, tetapi dorongan spontan dari Dewi membuat kami beralih ke Tanggedu.

Dengan bantuan Google Maps yang lebih sering menyesatkan daripada membimbing, kami berputar-putar di kota sebelum akhirnya menemukan arah yang benar. Seorang pemuda lokal dengan sabar mengilustrasikan rute perjalanan menggunakan jemarinya. Begitulah perjalanan ke Tanggedu dimulai.

Kami melewati jalanan di sepanjang pantai, melintasi padang luas dan bukit-bukit sabana yang membentang sejauh mata memandang. Pemandangan ini luar biasa—sabana yang hijau keemasan bergoyang ditiup angin, pepohonan perdu mempercantik lanskap, dan lautan biru memberikan ketenangan tersendiri.

Di tengah perjalanan, Primus yang hobi fotografi meminta Karel menepikan mobil. Kami turun dan berlari ke tengah padang, mengagumi keindahan alam serta memotret diri dengan latar kuda-kuda Sandalwood yang merumput bebas tanpa tali. Pemandangan yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Tapi perjalanan harus berlanjut.

Karel kembali mengemudi dengan hati-hati, karena jalanan penuh lubang yang bisa menjadi jebakan maut. Setelah beberapa waktu, papan penunjuk arah ke Air Terjun Tanggedu akhirnya tampak. Rasa senang membuncah, menandakan tujuan sudah dekat.

Namun, perjalanan kami belum selesai.

Perjalanan menuju air terjun Tanggedu tak hanya menguji fisik, tetapi juga mental dan keberanian kami. Setelah berhasil menyeberangi sungai dengan bantuan tali dan bimbingan warga setempat, kami melanjutkan perjalanan menuju titik awal pendakian. Perasaan lega bercampur dengan semangat yang kembali membuncah. Meski lelah, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga tentang kerja sama dan daya juang di tengah alam yang menantang.

Langit semakin cerah, dan sinar matahari menghangatkan tubuh kami yang masih basah oleh hujan dan keringat. Kami berjalan perlahan, menikmati pemandangan perbukitan yang menghijau setelah diguyur hujan. Udara terasa segar, seolah-olah alam memberikan hadiah atas perjuangan kami.

Sesampainya di rumah penduduk tempat kami mengisi buku tamu, kami kembali beristirahat sejenak. Ketua RT dan warga setempat menyambut kami dengan senyuman ramah. Mereka terlihat bangga karena wilayah mereka telah menjadi tujuan wisata yang diminati banyak orang. Salah seorang warga bahkan berbagi cerita tentang legenda air terjun Tanggedu, yang dipercaya sebagai tempat suci yang dijaga oleh roh leluhur.

Setelah beberapa saat beristirahat dan berbincang dengan warga, kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan pulang ke Waingapu. Karel kembali mengemudikan mobil dengan hati-hati, menyusuri jalan berbatu yang licin setelah hujan. Kami melewati kembali padang sabana luas dengan kuda-kuda Sandalwood yang bebas berlarian. Pemandangan ini kembali mengingatkan kami betapa indah dan uniknya Sumba.

Dalam perjalanan pulang, kami kembali merenungkan pengalaman hari itu. Betapa perjalanan ini mengajarkan banyak hal—tentang keteguhan hati, kerja sama, dan kekuatan alam yang tak bisa diremehkan. Meskipun tidak bisa menikmati air terjun Tanggedu secara maksimal karena debit air yang tinggi, perjalanan ini tetap menjadi kisah yang tak terlupakan. Kami semua sepakat bahwa suatu hari nanti, kami akan kembali ke sini, menaklukkan Tanggedu di saat yang lebih bersahabat.

Sumba memang benar adanya—eksotis, liar, dan penuh kejutan. “Mata Wai Amahu pada Njara Hamu” bukan sekadar ungkapan, tetapi sebuah kenyataan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah menjejakkan kaki di tanah ini. Pulau ini menyimpan sejuta keindahan dan petualangan yang menunggu untuk ditemukan kembali.

Dan begitulah, dengan tubuh lelah namun hati penuh sukacita, kami kembali ke Waingapu. Malam itu, sebelum tidur, pikiran masih melayang ke padang sabana, kuda-kuda yang berlarian, dan gemuruh air terjun yang begitu perkasa. Sumba tetap memanggil, dan kami tahu, suatu saat nanti, kami pasti akan kembali.

Setelah dua jam terjebak banjir, kami akhirnya berhasil menyeberang dengan bantuan Pak Uron dan putranya. Kegelisahan yang sempat menyelimuti kami perlahan berubah menjadi kelegaan. Kami melanjutkan perjalanan kembali ke tempat mobil diparkir. Perjalanan pulang terasa lebih ringan, meski tubuh sudah lelah.

Di tengah perjalanan, kami sempat mampir di rumah Pak Uron untuk sekadar beristirahat sejenak. Beliau menyuguhkan sirih pinang, yang menjadi bagian dari budaya setempat. Duduk di teras rumah panggungnya yang sederhana, kami berbincang santai tentang kehidupan di Tanggedu. Pak Uron bercerita tentang perjuangan mereka menghadapi medan yang sulit, tentang bagaimana air terjun Tanggedu yang semakin terkenal membawa harapan baru bagi desa mereka.

Namun, akses yang masih sulit menjadi tantangan besar bagi mereka. Banyak wisatawan yang datang tetapi kesulitan mencapai lokasi, apalagi saat musim hujan seperti ini. Kami mendengarkan dengan penuh perhatian, memahami bahwa keindahan Sumba juga datang dengan tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakatnya setiap hari.

Setelah cukup beristirahat, kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan kembali ke Waingapu. Dalam perjalanan, kami kembali melewati padang sabana yang luas, bukit-bukit kapur yang menjulang, serta kuda-kuda Sandalwood yang bebas berlarian. Sumba benar-benar memiliki daya magis yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setiap sudutnya menyimpan pesona yang selalu menggugah hati untuk kembali.

Saat tiba kembali di Waingapu, kami langsung menuju hotel. Pak Adelino menyambut kami dengan wajah lega, setelah sebelumnya sempat cemas karena kehilangan kontak dengan kami. Ia bahkan sempat berpikir untuk melaporkan kami ke polisi jika dalam beberapa jam ke depan tidak ada kabar. Kami tertawa, meski dalam hati juga bersyukur karena semua akhirnya selamat dan kembali dengan pengalaman yang tak terlupakan.

Di malam terakhir kami di Sumba, kami duduk bersama di teras hotel, mengulang kembali cerita perjalanan hari itu. Tawa, kekhawatiran, perjuangan, dan keindahan alam bercampur menjadi satu dalam kenangan yang akan terus kami bawa pulang.

Sumba bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah perjalanan yang mengajarkan tentang keberanian, ketangguhan, dan keindahan dalam kesederhanaan. “Mata Wai Amahu Pada Njara Hamu”—mata air emas, padang penggembalaan kuda terbaik—adalah gambaran nyata dari tanah ini. Sumba memang tiada duanya di dunia.

Dan suatu hari nanti, kami pasti akan kembali.

Mata Wai Amahu pada Njara Hamu – Mata Air Emas, Padang Pengembalaan Kuda Terbaik.  Really, Sumba is a fantastic and amazing island in the world.