gbm.my.id – Pernahkah Anda mendengar kata horok? Jika Anda berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), kemungkinan besar kata ini sudah tidak asing lagi di telinga Anda. Namun, jika Anda belum tahu asal-usulnya, izinkan saya membagikan cerita lucu ini yang saya yakin akan membuat Anda tertawa sekaligus berpikir.
Semuanya dimulai ketika saya menulis tentang kata horok dan meloi—dua istilah yang ternyata cukup populer di kalangan warga NTT, terutama di Bajawa. Seorang sahabat saya mengirimkan pesan pribadi yang penuh dengan tawa. Ia mengaku geli mendengar kata-kata tersebut, karena horok dan meloi begitu erat dengan kenangan masa remajanya di Bajawa. Setelah mencurahkan tawa, sahabat itu pun menanyakan tentang asal-usul kata horok.
Tentu saja, saya merasa harus memberikan jawaban yang tidak terlalu serius—saya ingin menjaga suasana ringan. Saya menjelaskan dengan gaya bercanda, “Ini semua demi menghidupkan suasana, siapa tahu ada yang tertarik ikut ‘meloi’ atau ‘pengi’, seperti yang sering saya dengar.” Tapi, sebagai orang yang penasaran, sahabat saya tetap menunggu penjelasan yang lebih mendalam.
Jadi, saya mulai berpikir. Asal kata horok ini memang sulit untuk ditelusuri. Saya mencoba menggali lebih dalam, meski saya tahu jawabannya lebih bersifat ramalan ketimbang riset linguistik. Kata ini, meskipun tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sangat akrab di telinga masyarakat NTT—terutama di Bajawa.
Kata horok bagi saya seolah berasal dari daerah itu. Mengapa? Karena saya mendengarnya lebih sering diucapkan oleh orang-orang Bajawa. Namun, sahabat saya yang berasal dari Kupang membantah dan mengatakan bahwa kata ini sudah populer juga di kota mereka. Wah, ternyata orang Bajawa yang banyak merantau ke Kupang mungkin menjadi penyebar kata horok ini! Saya pun tidak bisa sepenuhnya menolak teori itu.
Penasaran, saya mulai menghubungkan kata horok dengan kebiasaan budaya lokal. Di Ngada—tempat asal saya—ada tradisi menyembelih hewan untuk ritual adat. Proses penyembelihan ini cukup khas, karena hewan-hewan tersebut dibunuh dengan cara dibelah kepalanya. Nah, untuk memastikan binatang tersebut benar-benar mati, eksekutor akan memasukkan benda tajam (seperti pisau atau bilah bambu) ke lehernya dan menggerakkannya seperti menggergaji kayu.
Saat proses itu berlangsung, hewan-hewan tersebut mengeluarkan suara mirip dengan orang yang mendengkur—atau dalam bahasa Indonesia, ngorok. Nah, ngorok ini, yang seharusnya mengacu pada suara dengkuran, ternyata dipendekkan menjadi horok dalam bahasa Ngada, dengan penyesuaian agar lebih pas di lidah lokal. Tentu saja, perubahan ini sejalan dengan kebiasaan bahasa daerah di NTT yang sering kali menggunakan awalan “HO”, seperti dalam kata HObo, HOga, dan sebagainya.
Jadi, menurut saya, horok itu berasal dari kata ngorok—suara dengkuran yang muncul saat hewan disembelih. Menarik, bukan?
Namun, perjalanan kata horok tidak berhenti di situ. Awalnya, kata ini hanya digunakan dalam konteks penyembelihan hewan, tetapi seiring berjalannya waktu, horok mulai merambah ke dunia pertukangan. Proses memotong kayu dengan gergaji juga disebut horok, karena suara yang ditimbulkan mirip dengan dengkuran—atau lebih tepatnya, suara gesekan antara gergaji dan kayu.
Tentu saja, penjelasan ini tidak akan Anda temukan dalam buku-buku linguistik seperti karya JS Badudu atau Gories Keraf. Ini lebih merupakan sebuah cerita santai yang saya buat untuk menjawab rasa penasaran sahabat saya. Dan bagi Anda yang merasa semakin bingung dengan asal-usul kata meloi, saya mohon maaf, karena penjelasan tentang kata ini bisa membuat saya pusing dan mabuk. Haha! Tapi, semoga cerita ini setidaknya memberi gambaran tentang bagaimana kata-kata lokal bisa berkembang dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari budaya yang begitu dekat dengan kita.
Teruslah tertawa, dan mari kita nikmati perjalanan bahasa ini dengan penuh canda!