gbm.my.id – Masa kecil saya diwarnai oleh halaman-halaman majalah dan koran yang menampilkan iklan maskapai penerbangan dunia: Lufthansa, KLM, Qantas—nama-nama asing yang seolah berasal dari dunia yang begitu jauh dan hanya bisa disentuh lewat imajinasi. Di antara semua, Qantas selalu terasa paling eksotik. Logo kanguru itu seperti menari-nari di benak saya, menandai impian untuk suatu hari duduk di dalam salah satu pesawatnya.

Dan malam itu, impian masa kecil itu akhirnya mengudara.

Saya, seorang anak dari Nusa Tenggara Timur, sedang duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, menanti panggilan menuju penerbangan internasional pertama saya: Jakarta-Sydney dengan Qantas. Tak ada rasa gugup, hanya rasa syukur yang nyaris tak bisa didefinisikan.

Meski pesawat sempat terlambat mendarat, semangat saya tak luntur sedikit pun. Untuk mengusir jenuh, saya mengakses Facebook: memperbarui status, mengunggah foto, dan membalas komentar teman-teman. Dunia maya menjadi ruang berbagi rasa yang tak terbatas jarak.

Lalu panggilan boarding pun terdengar. Saya buru-buru menutup notebook, bahkan tak sempat mematikannya dengan benar. Sang asisten mendekat dengan suara lembut:

“Siap, Mas. Pesawatnya udah tiba.”

“Oke, Mbak. Terima kasih,” jawab saya.

Dengan langkah penuh semangat, saya mendahului penumpang lain. Di pintu pesawat, seorang pramugari bule menyapa ramah dengan aksen Indonesia yang kental aroma barat. Saya tersenyum dan mengangguk, lalu mencari tempat duduk saya. Kabin tampak luas dan tenang. Ini dunia baru bagi saya—dunia di balik awan.

Di kursi sebelah, duduk seorang wanita Asia. Kami saling tersenyum, lalu larut dalam hening. Usai makan malam, saya memberanikan diri membuka percakapan. Ternyata ia adalah seorang warga negara Jepang, hendak menghadiri pernikahan saudaranya di Cairns.

Kami berbicara tentang pekerjaan, perjalanan, dan tempat-tempat yang telah dikunjunginya. Kesempatan itu saya gunakan untuk mempromosikan tanah kelahiran saya:

“Cobalah ke Flores,” kata saya. “Pantai-pantainya memiliki butiran pasir berwarna-warni. Taman lautnya luar biasa. Ada Komodo juga, makhluk purba yang menjadikan nama kami mendunia. Dan, bahkan ada situs-situs peninggalan Jepang di sana.”

Wanita itu tampak terpesona. Saya tahu, saya mungkin sedikit “joak”—berlebihan. Orang Ende bilang “wora,” orang Kupang menyebutnya “lebe sa.” Tapi bukankah promosi yang datang dari hati memang harus meluap?

Percakapan kami akhirnya terhenti oleh kantuk yang tak tertahankan.

Subuh menyambut kami di Sydney. Pesawat mendarat pukul 06.30 waktu setempat. Di balik jendela, cahaya lampu bandara memantul seperti kilauan pagi di tengah dinginnya musim dingin Australia. Ini adalah momen kecil yang terasa besar. Saya mengambil tas, mengenakan jaket, dan bersiap menjejakkan kaki pertama kali di tanah benua baru.

Di pintu kedatangan, beberapa petugas bandara sudah bersiap. Salah satunya menawari saya naik booggy scooter—kendaraan kecil untuk membantu mobilitas di bandara. Saya menerima dengan senang hati. Perjalanan belum usai. Tujuan akhir saya adalah Townsville, dan saya harus transit ke terminal domestik Jet Star.

Di sebuah lorong, saya diturunkan dan diminta menunggu kursi roda. Di sebelah saya, duduk seorang ibu dari Indonesia. Ia ternyata satu pesawat dengan saya. Beliau yang pertama kali membuka percakapan.

“Dari mana, Pak?” tanyanya hangat.

“Dari Kupang, Bu,” jawab saya.

Ia mengernyit. “India, ya?”

Saya tertawa kecil. “Bukan, Bu.”

“Arab?”

“Bukan juga,” balas saya lagi, masih sambil tersenyum.

Ibu itu mengangguk pelan. Lalu ia bercerita, “Saya keturunan Arab. Ke sini mau berobat. Kata anak saya, di sini ada dokter India yang bisa bantu saya. Ahli sekali katanya.”

Obrolan kami terputus. Petugas sudah datang mendorong kursi roda saya. Ia membantu saya melewati pemeriksaan, mengambil bagasi, lalu mengantar ke jalur bus penghubung antar terminal. Dalam diam di atas roda itu, saya merenung.

Saya benar-benar jauh dari rumah. Namun, justru di tempat asing seperti ini, saya merasa tak sendirian. Ada sesama orang Indonesia, ada keramahan petugas, ada kenangan masa kecil yang menjelma nyata. Lebih dari itu, ada harapan baru yang mulai menetas—bahwa dunia ini tidak sebesar yang dulu saya kira. Dunia ini bisa dijelajahi, sejauh hati berani bermimpi.

Saya pikir, perjalanan seperti ini bukan hanya tentang geografi. Ini perjalanan spiritual. Perjalanan menyelami diri, membuktikan bahwa mimpi masa kecil tidak pernah sia-sia bila dirawat dengan kesabaran.

Dan saya percaya, setiap mimpi butuh “penerbangan” pertamanya, entah itu dalam bentuk Qantas, Jet Star, atau bahkan sepeda motor menuju perpustakaan desa. Karena kadang, seperti pengalaman saya malam itu, kita hanya perlu satu kursi di pesawat dan keberanian untuk percaya bahwa kita layak terbang.

Lalu, setelah semua perjalanan, kita akan kembali—membawa cerita. Dan cerita, seperti yang saya tulis ini, akan selalu menginspirasi orang lain untuk memulai langkah pertama mereka. Mungkin bukan ke Sydney. Mungkin cukup ke tempat sunyi, sebuah pojok rumah tempat anak-anak membaca buku dari perpustakaan mini. Tapi dari sanalah penerbangan sesungguhnya dimulai.

Dan malam itu, di atas Qantas, saya memulainya.