gbm.my.id – Dari Pantai Mandorak—atau seperti saya menyebutnya, isi kotak Pandora yang jatuh di Tana Humba—kami melanjutkan perjalanan menuju perkampungan adat yang begitu termasyhur: Ratenggaro.

Sebenarnya, destinasi ini hampir terlupakan dari agenda kami. Namun, memori sang sopir begitu kuat, memenuhi permintaan kami semalam. Ia membawa kami ke sana, ke kampung adat yang menyimpan kisah dan peradaban masa lampau.

Perjalanan dari Pantai Mandorak ke Ratenggaro hanya sekitar 15 menit, bukan karena jaraknya jauh, tetapi karena kondisi jalan yang belum semulus aspal di Tambolaka. Begitu berbelok dari jalan utama, kami langsung disambut pemandangan Uma Kelada—atap rumah adat Sumba yang menjulang tinggi. Semakin dekat, semakin tampak deretan kuburan batu besar di pintu masuk kampung, seolah menjadi gerbang menuju sejarah yang masih bernapas.

Mobil kami berbelok ke arah kampung dan seorang lelaki bernama Bapak Yoseph menyambut kami dengan ramah. Ia menjabat tangan kami satu per satu, seakan menyambut saudara yang baru kembali ke rumah.

Sebuah papan kecil berukuran 50×50 cm berdiri tegak di atas tiang, berwarna oranye mencolok. Di situ tertulis: Selamat Datang di Kampung Adat Ratenggaro beserta beberapa peraturan adat, termasuk biaya parkir kendaraan (Rp 10.000,-), sewa pakaian adat (Rp 50.000,-), menunggangi kuda (Rp 50.000,-), hingga berfoto dengan latar belakang kuda dan kain adat (Rp 20.000,-).

Kampung tampak sepi, tetapi itu bukan berarti tak berpenghuni. Beberapa penduduk duduk di beranda rumahnya, ada yang menjajakan kain tenun tradisional, ada pula yang menawarkan patung kecil khas Sumba. Suasananya begitu khas—hening, tetapi penuh makna.

Kami ditawari berbagai pengalaman budaya yang bisa dinikmati di sini, dari mengenakan pakaian adat hingga menunggang kuda. Beberapa teman tergoda untuk mencoba, menyerahkan lembaran rupiah demi merasakan nuansa leluhur di tubuh mereka.

Kami kemudian berjalan menuju pantai, melewati jalan setapak yang diapit kuburan batu megah. Batu-batu ini adalah hasil pahatan tangan, tertata rapi seperti penjaga waktu yang setia. Kami terus melangkah hingga tiba di semenanjung kecil—dulu tempat berdirinya kampung lama Ratenggaro. Sisa-sisa masa lalu masih bisa terlihat di sini: kuburan batu raja pertama, batu-batu hitam misterius, dan berbagai jejak yang kini menjadi saksi bisu sejarah.

Dari titik ini, pemandangan Ratenggaro semakin memesona. Kampung adat yang berdiri di tepi muara menjadi latar sempurna bagi para pemburu foto. Banyak pengunjung berhenti sejenak, mengabadikan diri dengan latar Uma Kelada yang menjulang bak mahkota raksasa.

Tak ingin melewatkan kesempatan, kami pun mencoba menunggang kuda Sandlewood yang terkenal. Rasanya luar biasa—seolah kami sedang menelusuri padang savana, berperan sebagai pejuang zaman dulu yang menyusuri tanah leluhur mereka.

Ratenggaro bukan sekadar tempat wisata; ia adalah peradaban yang tetap hidup. Setiap langkah di kampung ini membawa sensasi mistik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Sejarah, budaya, dan alam berpadu begitu harmonis.

Di semenanjung ini, di mana kampung adat lama pernah berdiri, waktu seolah berhenti. Muara yang membentuk teluk indah, airnya tenang dan bening. Pasir putih membentang luas, menghadirkan pesona yang sukar ditolak. Namun, sensasi sejati akan terasa ketika Anda menunggang kuda melintasi pantai saat senja menjelang. Cahaya jingga yang perlahan tenggelam, bayangan kuda yang berlari di pasir putih, dan semilir angin laut yang membisikkan cerita lama—Ratenggaro adalah keajaiban yang tak akan pernah pudar.***