gbm.my.id – Bali telah lama menjadi barometer dalam pengelolaan sektor pariwisata di Indonesia. Keberhasilannya tidak terjadi secara instan, melainkan melalui perjalanan panjang yang dimulai sejak awal 1900-an. Keunggulan ini menjadikan Bali sebagai referensi utama dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata di berbagai daerah lain, termasuk Nusa Tenggara Timur. Namun, meskipun sering dilabeli sebagai “New Bali”, NTT memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Bali dikenal dengan budaya yang relatif homogen, sedangkan NTT justru kaya akan keberagaman budaya.
Meskipun perdebatan mengenai label “New Bali” masih terjadi, satu hal yang patut diakui adalah konsistensi dan komitmen Bali dalam mengembangkan pariwisata. Pemerintah daerah di seluruh Bali memiliki visi yang sejalan, menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan dengan perencanaan yang matang. Hal ini berbeda dengan NTT, yang meskipun memiliki potensi besar, belum mampu mengelola pariwisata secara maksimal.
Selama enam bulan tinggal di Denpasar pada tahun 2012 untuk mengikuti Pre Departure Training sebelum studi di Australia, saya mengamati bagaimana pemerintah dan masyarakat Bali berkomitmen terhadap industri pariwisata. Setiap kabupaten/kota memiliki destinasi unggulan, infrastruktur yang memadai, serta masyarakat yang ramah terhadap wisatawan. Keramahan dan keberagaman tema wisata menciptakan pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjung, sebuah faktor penting dalam keberhasilan sektor ini.
Pariwisata NTT: Harapan dan Tantangan
Dalam Ujian Terbuka S3 Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga pada 22 Oktober 2021, ia menyoroti pariwisata sebagai solusi utama untuk menghapus stigma kemiskinan yang telah lama melekat pada NTT. Menurutnya, NTT adalah sebuah paradoks: kaya akan sumber daya alam, flora, fauna, dan sumber daya manusia, tetapi tetap berada dalam daftar provinsi termiskin di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman perjalanannya ke berbagai negara di Eropa dan riset terhadap 45 objek wisata, Laiskodat menegaskan bahwa pariwisata dapat menjadi lokomotif pembangunan. Pemerintah provinsi menetapkan pariwisata sebagai prime mover atau penggerak utama pembangunan, suatu langkah strategis yang seharusnya diikuti oleh seluruh kabupaten/kota di NTT. Namun, hingga saat ini, perkembangan pariwisata NTT masih berjalan lambat dan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Sejarah mencatat bahwa geliat pariwisata NTT sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, dengan destinasi seperti Komodo, Kelimutu, dan Taman Bawah Laut Waira menjadi magnet wisatawan. Namun, gempa dan tsunami yang melanda Flores pada tahun 1992 menyebabkan penurunan drastis jumlah wisatawan. Meski kemudian pariwisata mulai bangkit kembali, potensi yang ada masih belum dikelola secara optimal.
Mengapa Pariwisata NTT Belum Berkembang Pesat?
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah mengapa pertumbuhan pariwisata di NTT berjalan lambat? Mengapa sektor ini belum mampu menjadi pendorong utama kesejahteraan masyarakat? Salah satu faktor utama adalah pendekatan pembangunan yang masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya mengadopsi konsep kolaborasi.
Gubernur NTT telah mengambil langkah strategis dengan menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan. Namun, upaya ini perlu didukung oleh pemerintah kabupaten/kota yang memiliki isu dan tantangan serupa, yaitu stigma kemiskinan dan potensi alam yang luar biasa. Tanpa sinergi, pengembangan pariwisata akan terhambat oleh ego sektoral dan politik.
Kolaborasi: Kunci Keberhasilan Pariwisata NTT
Kolaborasi menjadi elemen krusial dalam membangun pariwisata yang berkelanjutan. Konsep ini bukan sekadar kerja sama biasa, tetapi melibatkan penyatuan energi, peningkatan kapasitas, serta komunikasi yang transparan dan berbasis kepercayaan (trust). Semua pihak yang terlibat harus memperoleh informasi yang sama, memberikan umpan balik yang konstruktif, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama.
Dalam konteks pariwisata NTT, kolaborasi harus dimulai dari perubahan pola pikir. Pemimpin daerah dan masyarakat perlu melihat pariwisata sebagai identitas bersama. Misalnya, Komodo bukan hanya milik Manggarai Barat, melainkan aset berharga bagi seluruh NTT. Begitu juga dengan sasando yang berasal dari Rote, harus dipandang sebagai kekayaan budaya NTT secara keseluruhan. Konsep ini serupa dengan Bali, di mana semua potensi wisata yang ada dianggap sebagai bagian dari citra besar “Bali” di mata dunia.
Selain itu, perbedaan warna politik antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sering kali menjadi penghambat sinergi pembangunan. Dalam sistem politik kita, sering kali terjadi ketidaksepahaman antara pemimpin dari partai berbeda, yang akhirnya menghambat realisasi kebijakan pembangunan. Pendekatan berbasis kolaborasi dapat mengatasi hambatan ini dengan mengutamakan kepentingan bersama di atas ego politik.
Mengelola Kolaborasi Secara Berkelanjutan
Untuk memastikan kolaborasi berjalan efektif, diperlukan langkah-langkah yang sistematis dan berkesinambungan. Proses ini harus terus dilakukan terlepas dari pergantian kepemimpinan. Artinya, kebijakan pariwisata yang sudah dirancang harus menjadi fondasi yang kokoh bagi pemimpin-pemimpin berikutnya.
Gubernur NTT telah membuktikan melalui kajian akademik dan pengalaman empirisnya bahwa pariwisata bisa menjadi prime mover pembangunan. Namun, potensi luar biasa yang dimiliki NTT masih belum dikelola secara optimal. Pariwisata harus dipandang sebagai multiplier effect yang dapat mendorong sektor lain seperti pertanian, peternakan, dan perikanan untuk berkembang bersama.
Pariwisata NTT harus dikelola dengan visi jangka panjang, strategi komprehensif, dan pendekatan kolaboratif. Jika semua pihak bergerak seirama, bukan tidak mungkin NTT akan menjadi destinasi wisata unggulan yang sejajar dengan Bali, bukan sebagai “New Bali”, tetapi sebagai NTT yang autentik dan kaya akan keberagaman. (*).