gbm.my.id – Di Flores, tidak lazim menemukan sopir angkutan pedesaan menaruh buku di dalam mobilnya. Yang umum ditemukan justru “parang Bajawa”—senjata khas yang biasanya diselipkan di pintu atau tersisip di sarung kursi bagian belakang. Namun, kisah ini berbeda.
Perjalanan Menuju Bajawa
Hari itu, saya berencana berangkat ke Bajawa. Sejak malam sebelumnya, saya sudah menghubungi sopir angkutan pedesaan “Ita Oan Timor” untuk menjemput saya di rumah. Sopir menyanggupi dan berjanji datang pukul lima pagi. Bahkan, ia mengirimkan dua pesan pengingat, seolah memastikan saya tidak akan terlambat.
Alarm saya setel pukul empat pagi, tapi tetap saja saya baru terbangun pukul 04.15. Udara begitu dingin, apalagi air di kamar mandi. Rasanya bisa membekukan tubuh saya. Akhirnya, saya meminta tante untuk memasak air dan mencampurkannya dengan air dingin—satu-satunya cara agar saya bisa mandi tanpa menggigil.
Pukul lima, saya sudah siap. Namun, mobil angkutan belum juga tiba. Baru pukul 06.30 mobil itu datang. Tidak apa-apa, saya masih yakin akan tiba di Bajawa lebih pagi dan bisa menyelesaikan urusan lebih awal.
Di pertigaan Uluwagha-Maukeli, mobil berbelok ke arah Mauponggo untuk menjemput penumpang. Kami sempat berhenti selama 20 menit di pertigaan Pu’u Boa sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Maumbawa dan tiba di Bajawa pukul 09.00. Perjalanan terasa membosankan. Waktu terasa begitu terbuang di jalan. Namun, kejenuhan saya terobati oleh sesuatu yang tidak terduga—sebuah buku.
Buku di Dalam Angkutan
Di tengah perjalanan, seorang penumpang yang duduk di depan tiba-tiba meraih sebuah buku dari dashboard mobil. Saya langsung penasaran. Buku apa itu? Saya memperhatikannya dari kejauhan. Lembar demi lembar dibolak-balik oleh penumpang tersebut. Tak sabar, saya menunggu sampai buku itu kembali diletakkan di tempat semula. Begitu ada kesempatan, saya langsung meminta izin kepada sopir untuk meminjamnya.
Judulnya “Disain Jiwa”, karya Pater Domi Kadju Dheo, SVD. Saya mulai membaca, dan langsung terserap ke dalam salah satu subbab yang membahas bagaimana menyembuhkan orang yang kerasukan roh jahat. Menurut buku ini, sering kali ada kesalahpahaman dalam praktik pengusiran roh jahat. Kekerasan seperti pukulan, bentakan, atau tindakan agresif lainnya justru bisa memperkeruh keadaan. Sebaliknya, roh-roh itu bisa diajak berdialog. Sepanjang manusia berdamai dengan alam, alam pun akan mendengarkan.
Saya tidak ingin mengomentari isi buku itu lebih jauh. Yang lebih menarik perhatian saya adalah keberadaannya. Jarang—bahkan mungkin tidak pernah—ada sopir angkutan pedesaan yang memiliki buku setebal itu di mobilnya. Saya teringat kisah paman saya, Anton, seorang pemandu wisata yang sering menemani turis dari Sumatera hingga Lombok. Katanya, wisatawan asing biasa membaca buku selama perjalanan. Bahkan, mereka menyobek halaman yang sudah dibaca, hingga akhirnya hanya tersisa sampulnya saja sebelum dibuang. Luar biasa benar daya ingat mereka terhadap isi buku yang telah dituntaskan.
Perjalanan Pulang: Sebuah Inspirasi
Sekembalinya dari Bajawa, buku itu kembali berpindah tangan. Kali ini, seorang penumpang lain yang membacanya. Saya memperhatikan diam-diam. Ia mencatat sesuatu di buku tulis kecilnya. Membaca, baginya, adalah seperti sesi rekaman di studio musik—setiap kata yang dibaca direkam dalam memori.
Saat turun dari mobil, saya masih belum sempat menanyakan kepada sopir: apakah buku itu miliknya? Apakah ia pernah membacanya? Namun, jawaban atas pertanyaan itu terasa tidak begitu penting. Yang jelas, di dalam angkutan pedesaan ini, saya menemukan sesuatu yang langka—sebuah “perpustakaan” mini, walaupun hanya terdiri dari satu buku. Namun, satu buku saja sudah cukup untuk menginspirasi saya. Membaca buku ini di perjalanan menumbuhkan kembali impian saya untuk menerbitkan buku sendiri. Kumpulan kisah perjalanan, layaknya “Disain Jiwa”, yang suatu hari mungkin akan menginspirasi orang lain di sebuah perjalanan yang tak terduga.
Pesan
Menulis adalah cara kita meninggalkan jejak. Membaca adalah cara kita memahami dunia. Dan sebuah buku, bahkan dalam sebuah mobil angkutan pedesaan, bisa menjadi jendela yang membuka cakrawala.