gbm.my.id – Sebagai alumnus salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, saya merasa miris dan sedih membaca berita pembantaian di Lapas Cebongan Sleman. Salah satu korban tewas adalah seorang mahasiswa, alm. Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Peristiwa itu mencederai nilai-nilai kemanusiaan, dan kepergiannya menjadi alarm bagi mahasiswa asal NTT di Yogyakarta untuk kembali mengingat tujuan utama mereka: kuliah.
Tulisan ini bukan hanya sekadar curahan hati, tetapi juga refleksi, kritik, dan sumbangan pemikiran bagi rekan-rekan mahasiswa NTT yang tengah mengenyam pendidikan di kota pelajar ini.
Menjejak Yogya, Menjejak Mimpi
Saya pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta pada tahun 1995. Saat itu, Yogya masih berwajah ‘pedesaan’, dengan sawah membentang di pinggiran kota dan suasana yang damai. Berbeda dengan sekarang yang telah dipenuhi hiruk-pikuk modernisasi. Di kota ini, saya merangkak dari Bimbingan Belajar, Diploma III, hingga Strata I. Sebuah perjalanan akademis yang panjang, melelahkan, dan nyaris membosankan.
Yogya dikenal sebagai magnet bagi mahasiswa luar Jawa karena biaya hidup yang relatif murah dan keberadaan perguruan tinggi ternama. Mahasiswa asal NTT pun berdatangan dari berbagai kabupaten, membentuk paguyuban, yang kemudian berkembang menjadi ikatan berbasis wilayah kecamatan. Ini mencerminkan peningkatan jumlah mahasiswa NTT yang cukup signifikan di Yogyakarta.
Namun, suasana Yogya yang adem kala itu ternyata juga menjadi jebakan. Banyak mahasiswa NTT yang dikenal cerdas di bangku sekolah, justru berubah menjadi ‘mapala’—mahasiswa paling lama menyelesaikan kuliah. Mereka terjebak dalam idealisme berlebihan, sibuk berorganisasi, bermain bola, berjudi, atau bahkan tidak memiliki aktivitas yang jelas. Akibatnya, tidak sedikit yang mengalami drop out karena manajemen diri yang buruk.
Di lingkungan akademis, mahasiswa NTT yang berprestasi bisa dihitung dengan jari. Pada semester awal, IPK mereka melesat tinggi, tetapi perlahan-lahan mulai merosot, hingga akhirnya tenggelam dalam arus pergaulan. Ada banyak alasan yang dijadikan pembenaran, mulai dari kiriman uang yang terlambat hingga berbagai hambatan lain. Mahasiswa NTT memang dikenal pandai, tetapi sayangnya, juga pandai mencari alasan.
Sebaliknya, di luar kampus, dalam pesta-pesta dan pergaulan malam, mahasiswa NTT justru berada di garis terdepan. Sayangnya, dalam ajang seperti ini pula, mereka kerap menjadi pemicu keributan, perkelahian, dan konflik antarmahasiswa, baik sesama asal NTT maupun dengan mahasiswa dari daerah lain.
Kasus Hugo’s Café menjadi salah satu contoh nyata dari kekerasan yang melibatkan pemuda dan mahasiswa NTT. Kekerasan yang awalnya terjadi di pinggiran lapangan dan panggung pesta kini telah merambah hingga pusat hiburan ternama. Ini menunjukkan pergeseran gaya hidup yang semakin menjauh dari esensi pendidikan.
Perilaku yang Menjadi Stereotip
Tidak dapat disangkal bahwa berbagai peristiwa negatif telah menorehkan citra buruk mahasiswa NTT di Yogyakarta. Kekerasan, mabuk-mabukan, dan gaya hidup hedonis seolah-olah menjadi stereotip yang melekat. Banyak mahasiswa yang bahkan menjadikan minuman keras sebagai bagian dari identitas mereka.
Banyak mahasiswa baru yang datang ke Yogyakarta justru lebih banyak berbicara soal minuman keras dibanding berbicara tentang cita-cita akademis mereka. Mereka juga menjadi sasaran empuk bagi senior yang memiliki pola hidup serupa. Tak jarang, mahasiswa yang masih mencari jati diri mudah terseret dalam perilaku premanisme dan kenakalan lainnya.
Padahal, Yogya adalah kota pelajar. Sayangnya, label tersebut tidak benar-benar tercermin dalam keseharian mahasiswa NTT. Jarang sekali kita melihat mahasiswa NTT yang rajin mengunjungi toko buku atau perpustakaan. Sebaliknya, di kamar kos mereka, lebih mudah ditemukan botol-botol kosong bekas minuman keras ketimbang buku bacaan. Bahkan ada yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.
Di awal bulan, mereka masih terlihat menikmati kehidupan dengan merokok mahal dan minuman impor. Namun, ketika uang kiriman mulai menipis, mereka membeli rokok batangan dan minum-minuman murah dengan cara patungan. Akhir bulan menjadi masa-masa sulit, dan kerap kali perilaku mereka berubah menjadi lebih agresif, menciptakan keresahan di lingkungan sekitar.
Kebersamaan yang Menjadi Bumerang
Tinggal bersama sesama mahasiswa NTT di perantauan tentu memiliki keuntungan dalam hal solidaritas. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, hal ini justru bisa menjadi bumerang. Kesalahan satu atau dua orang bisa berdampak buruk bagi citra seluruh mahasiswa NTT di mata masyarakat setempat.
Ada baiknya jika mahasiswa NTT mampu melebur dengan mahasiswa dari daerah lain, baik dalam lingkungan kos maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal ini bukan hanya memperluas wawasan dan jaringan pertemanan, tetapi juga membantu mereka memahami berbagai latar belakang sosial dan budaya.
Selain itu, mahasiswa juga sebaiknya aktif dalam organisasi kampus atau organisasi eksternal seperti PMKRI, HMI, GMNI, atau GMKI. Organisasi-organisasi ini telah melahirkan banyak pemimpin, termasuk tokoh-tokoh asal NTT seperti Elias Sumardi Dabur dan Melki Laka Lena. Sayangnya, partisipasi mahasiswa NTT dalam organisasi seperti ini masih sangat minim.
Jika tidak tertarik dengan organisasi kemahasiswaan, paguyuban kedaerahan bisa menjadi wadah untuk menyalurkan aspirasi dan ekspresi akademis. Saya sendiri dulu aktif di Keluarga Mahasiswa Flobamora Yogyakarta (KMFY) dan Ikatan Flobamora Yogyakarta (IKF). Dari sana, saya belajar banyak dari para sesepuh dan senior yang telah lebih dulu mengarungi dinamika perantauan.
Asrama yang Berubah Fungsi
Asrama NTT di Tegalpanggung seharusnya menjadi tempat tinggal bagi mahasiswa yang kurang mampu. Namun, pada kenyataannya, asrama ini sering kali justru menjadi ‘sarang’ bagi mereka yang berperilaku menyimpang. Bahkan, ada kejadian di mana asrama tersebut digrebek layaknya tempat persembunyian teroris.
Saya sendiri pernah ingin mengunjungi asrama tersebut, tetapi niat itu saya urungkan setelah mendengar komentar dari seorang senior yang mengatakan bahwa ada dua kemungkinan jika saya bertanya kepada warga sekitar: mereka akan menunjukkan lokasi asrama, atau saya akan dikejar-kejar oleh warga yang sudah muak dengan kelakuan penghuninya.
Kembali ke Fitrah: Menjadi Mahasiswa yang Sesungguhnya
Kepergian Dedi dengan cara yang tragis adalah tamparan bagi kita semua. Ia seharusnya tidak pergi dengan cara seperti itu. Namun, dari peristiwa ini, ada pelajaran besar bagi mahasiswa NTT di Yogyakarta: kembalilah ke fitrah tujuan kalian—KULIAH!
Jangan biarkan diri terjebak dalam ruang kosong tanpa makna. Isi hari-hari dengan aktivitas yang produktif, baik di organisasi kampus, organisasi eksternal, maupun paguyuban kedaerahan. Pengendalian diri dan keseimbangan antara akademis, organisasi, dan rekreasi adalah kunci untuk menjadi mahasiswa yang sesungguhnya.
Mari tinggalkan gaya hidup hedonis dan mulai membangun budaya akademis yang lebih baik. Selamat jalan, Dedi. Semoga kepergianmu menjadi titik balik bagi mahasiswa NTT di Yogyakarta.

