gbm.my.id – Ada panggilan yang menggema dengan kehangatan di kalangan masyarakat Lamaholot: “Ama.” Sebuah sapaan yang bukan sekadar nama, melainkan wujud penghormatan dan pengakuan sebagai bagian dari keluarga besar. Dan itulah sapaan yang kini terasa begitu lekat ketika mengenang sosok Frans Lebu Raya. Bagi banyak orang, ia bukan sekadar pemimpin, tetapi juga Ama—seorang bapak yang merangkul, seorang pemimpin yang sederhana, seorang tokoh yang melekat dalam sejarah Nusa Tenggara Timur.
Perjumpaan yang Menjadi Kenangan
Perjalanan hidup mempertemukan saya dengan Ama Lebu Raya dalam berbagai kesempatan. Pertama kali, pada saat saya mengikuti tes CPNS di SPN Kupang tahun 2008. Ketika ia melakukan inspeksi ke lokasi tes, saya dengan spontan mengeluarkan handphone dan meminta izin untuk memotretnya. Ia tidak berkata-kata, hanya melemparkan senyum khasnya—sebuah restu tanpa perlu banyak kata.
Waktu berjalan, dan perjalanan hidup kembali membawa saya ke hadapannya. Sejak berada di Townsville, Australia, saya berjanji pada diri sendiri untuk bertemu dengannya. Akhirnya, pada 27 Agustus 2014, di Kantor Gubernur NTT, saya kembali menemuinya.
Namun, pertemuan itu tidak seperti yang saya bayangkan. Setelah menunggu berjam-jam, saya dipanggil dengan terburu-buru dan justru bertemu dengannya di lorong kantor. Dalam hati, saya bertanya, “Mengapa di sini? Bukankah ada ruang lebih layak untuk berbicara?” Tapi segala kegelisahan itu sirna ketika ia menyambut saya dengan rangkulan erat, penuh kebapakan.
Seperti itulah Ama Lebu Raya. Ia bisa begitu dekat, hangat, dan akrab. Tapi di balik keramahan itu, ada tantangan protokoler yang rumit. Saya berharap bisa kembali bertemu dengannya dalam suasana yang lebih baik, berdiskusi lebih dalam tentang banyak hal, termasuk isu kaum difabel yang ingin saya sampaikan secara langsung kepadanya. Namun, harapan itu akhirnya tinggal harapan. Janji yang tak pernah kesampaian.
Pelajaran Hidup dari Ama Lebu Raya
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga dan sahabat, tetapi juga bagi masyarakat NTT. Bukan sekadar karena statusnya sebagai pemimpin, tetapi karena ia telah menanamkan semangat kerja keras yang tak kenal lelah.
Ia pernah berkata, “Tak ada membangun NTT, yang ada membangun Indonesia yang ada di NTT.” Kata-katanya bukan sekadar slogan, tetapi manifestasi dari cara berpikirnya yang besar. Baginya, NTT bukan wilayah pinggiran, melainkan bagian tak terpisahkan dari tubuh besar Indonesia. Ia berjuang agar NTT dikenal bukan sebagai daerah tertinggal, tetapi sebagai daerah yang kaya dengan potensi, keberagaman, dan kebersamaan.
Ama Lebu Raya juga meninggalkan pesan penting: bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah yang menjaga jarak dengan rakyatnya, tetapi yang mampu membuat rakyatnya merasa dekat dan didengar. Meskipun seringkali ada tembok protokoler yang membatasi, namun di balik itu, Ama adalah pemimpin yang memahami bahwa jabatan hanyalah amanah, dan yang abadi adalah bagaimana kita dikenang oleh orang-orang yang pernah kita layani.
Kenangan yang Tetap Hidup
Saat masyarakat NTT bersiap merayakan ulang tahun provinsi yang pernah ia pimpin, Ama justru berpulang. Mungkin bagi banyak orang ini adalah kebetulan, tetapi bagi saya, ini adalah cara Tuhan, leluhur, dan semesta untuk mengingatkan bahwa ia dan NTT tidak bisa dipisahkan. Ia tidak hanya membangun daerah ini dengan program-programnya, tetapi juga dengan semangat dan kebijaksanaannya.
Kini, kita tak akan lagi mendengar suaranya menyanyikan Anggur Merah, lagu favoritnya. Tak ada lagi senyum khasnya yang menyiratkan ketulusan. Tapi warisan yang ia tinggalkan tetap hidup dalam ingatan kita, dalam setiap langkah pembangunan, dan dalam setiap semangat kerja keras yang ia tanamkan.
Selamat jalan, Ama Frans Lebu Raya. Ragamu telah beristirahat, tetapi inspirasimu akan tetap menyala. Kami yang masih melanjutkan perjalanan ini akan selalu mengingat pesanmu: Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas