gbm.my.id – Hari itu, matahari mulai condong ke barat ketika saya tiba di Kota Ende, baru saja kembali dari kampung halaman. Seperti biasa, perjalanan darat di Flores tak pernah benar-benar tenang. Tapi kali ini, bukan jalan berlubang atau tikungan tajam yang membuat laju mobil saya terhenti. Di tengah kota, massa sudah memadati ruas jalan. Blokade manusia terbentuk. Wajah-wajah antusias menanti kedatangan para pembalap Tour de Flores dari Maumere.
Mobil tak bisa melaju ke bandara. Saya putuskan turun, menumpang sejenak di rumah kakek. Setelah menenangkan diri sebentar, saya kembali bergerak. Titip koper pada seorang kenalan di bandara—sekalian saya minta bantuannya untuk proses check-in. Lalu saya arahkan langkah ke Lapangan Perse. Di sana sedang berlangsung penganugerahan “jersey” bagi para pembalap yang sukses menaklukkan etape kedua. Sekalian bertemu teman, panitia TdF. Rasanya, suasana begitu meriah dan membanggakan.
Satu setengah jam di Perse, cukup. Saya kembali ke Bandara Aroeboesman. Saat tiba, mata saya langsung menangkap sepasang suami istri bule dan anak-anak mereka yang cantik dan ganteng. Saya masuk lebih dulu ke ruang tunggu. Tapi belum lama di sana, suara dari ruang check-in menggelegar:
“Heeeee… Heeeee… Don’t!”
Refleks, saya menoleh. Seorang petugas sedang menegur dua anak bule yang tampak bermain-main di sekitar mesin x-ray. Saya mengernyit, kaget bukan main. Suara itu terdengar… kasar, tidak ramah, dan tidak kontekstual.
Saya menuju kamar kecil. Tapi ketika keluar, suara itu terdengar lagi.
“Heeeee… Heeeeee… Don’t! Anak nakal sekali na!”
Saya melihat kedua orangtua anak-anak itu hanya diam. Wajah mereka tak berbicara, tetapi sorot mata si ayah jelas menyimpan kekesalan. Bukan kepada anak-anaknya—melainkan kepada cara petugas itu menegur. Dan saya bisa mengerti sepenuhnya.
Di ruang tunggu, pikiran saya mengembara. Tour de Flores begitu meriah. Katanya, event ini membuka mata dunia pada pesona alam Flores. Gunung, laut, adat, budaya, keramahan… semua jadi jualan utama.
Tapi, benarkah keramahan itu nyata?
Saya bergumul dengan satu pertanyaan penting: kita jual keindahan, tapi apakah kita juga menjual manusia yang ramah? Apakah kita sadar bahwa pariwisata tak hanya soal lanskap, tapi juga karakter dan etika komunikasi?
Flores mungkin menawan dari luar. Tapi dari dalam, dari cara bicara petugas kita, dari cara menyampaikan teguran, larangan, bahkan sapaan sederhana—masih sangat jauh dari kata “siap menjamu dunia.”
Saya tidak menyalahkan petugas itu sepenuhnya. Ia mungkin tidak diajarkan cara berbicara yang ramah. Tidak pernah ikut pelatihan bagaimana menghadapi tamu dari luar negeri. Tidak tahu bagaimana menggunakan kalimat yang tegas tapi sopan, berwibawa tapi tak melukai.
Seharusnya, orang-orang yang bekerja di ruang-ruang publik—bandara, pelabuhan, hotel, restoran, terminal, tempat wisata, bahkan supir dan guide—dibekali keterampilan komunikasi. Cara menyampaikan instruksi dengan senyum, bukan bentakan. Bagi kita, “Heeeee, don’t!” mungkin biasa. Tapi bagi tamu dari budaya berbeda, itu bisa sangat menyakitkan.
Dan lebih dari itu: itu mencoreng citra kita sendiri.
Bayangkan, turis itu kembali ke negaranya. Apa yang ia ceritakan? Laut biru dan bukit hijau Flores? Atau suara keras petugas bandara yang mempermalukan anak-anaknya?
Tour de Flores adalah jendela tempat dunia menatap kita. Tapi jendela yang cantik tak berarti apa-apa kalau dari dalam rumah terdengar suara gaduh. Kita sedang menjual paket pariwisata, tapi di dalamnya seharusnya juga ada keramahan, kelembutan, dan sikap yang bersahabat.
Karena pada akhirnya, yang membuat wisatawan ingin kembali bukan cuma foto yang mereka ambil, tapi perasaan hangat yang mereka bawa pulang.
Semoga kejadian seperti ini tidak terulang. Dan semoga suatu hari nanti, di bandara yang sama, petugas akan menyapa dengan senyum, bukan dengan suara membentak. Agar tak ada lagi yang berteriak:
“Heeeee… Heeeee… Don’t!”
Haha…