gbm.my.id – Bukit Doa Maria Ratu Semesta Alam bukan sekadar tempat berziarah, melainkan ruang bagi jiwa untuk berpuas diri, mereguk ketenangan, dan meresapi keagungan ciptaan-Nya. Dari ketinggian ini, pandangan menghampar bebas ke berbagai penjuru: Gunung Ebulobo berdiri megah dalam keteduhannya, kota Bajawa menghampar hijau di kejauhan, dan bentangan perbukitan kokoh mengelilinginya bak pagar alami. Kampung adat Beisipo tampak di bawah, menyiratkan daya magis yang kental. Nun jauh di seberang, lembah Lopijo, Aimere, hingga Manggarai Timur terlihat tanpa halangan. Rasanya seperti berada di negeri di atas awan, terlebih saat kabut turun berarak rendah, menyelimuti tanah di bawah kaki.

Namun, ketenangan ini tiba-tiba berubah menjadi ketegangan ketika kabut pekat mengepung bukit. Patung Bunda Maria seolah menghilang di balik selimut putih, demikian pula tugu salib di bukit seberang. Ini adalah pengalaman yang baru bagiku—tak terbiasa berada di negeri berkabut. Ketika sebagian peziarah tampak terbiasa, aku justru dilanda kekaguman sekaligus sedikit rasa cemas.

Tak jauh dari tempatku berdiri, sepasang kekasih berlari-lari kecil, menghampiri kaki Sang Bunda. Mereka menyalakan lilin, merapatkan tangan dalam doa, sebelum akhirnya kembali menuruni jalan beton. Aku pun mengikuti langkah mereka, menelusuri jalur yang mulai basah oleh embun pagi.

Dari arah berlawanan, dua pemuda menunggangi kuda atletis dengan langkah percaya diri. Mereka tiba di pelataran parkir, turun dari punggung kuda, lalu berdiri sejenak, seolah mengizinkan hewan-hewan itu menikmati kebebasan setelah perjalanan panjang. Aku mempercepat langkah, menyapa mereka, lalu mengabadikan momen itu dengan kameraku.

Aris dan Fredy, begitu nama mereka, adalah pemuda dari Kampung Beisipo—kampung adat yang tadi kulewati sebelum mendaki bukit doa. Mereka bukan sekadar penunggang kuda biasa, melainkan penggembala kuda pacu milik seorang polisi. Aris mengaku bahwa kuda-kuda ini dipersiapkan khusus untuk pacuan.

Sebagian orang mengira pacuan kuda hanya populer di Sumba dengan kuda Sandelwood-nya yang terkenal. Nyatanya, Bajawa pun memiliki tradisi pacuan kuda sejak lama, bahkan jauh sebelum aku lahir. Kuda-kuda petarung dari tanah ini, yang kusebut sebagai “Kuda Bajawa,” dikenal tangguh, lincah, dan memiliki stamina luar biasa.

Aku meminta Fredy menaiki kembali salah satu kuda, agar bisa memotretnya dengan lebih baik. Dari posturnya, kuda-kuda ini masih terbilang muda, tetapi semangat dan kegesitannya sudah terlihat jelas. Aris menjelaskan bahwa setiap hari ia membawa mereka ke bukit ini untuk merumput. Kuda hitam itu diberi nama “Soga Maghi,” sementara yang berwarna merah dinamai “Soga Bena.”

Aku tak dapat menahan diri untuk menuangkan pengalaman ini dalam baris-baris puisi:

Menuruni Bukit Doa
Ketika kabut menyergap
Selubungi Sang Ratu Alam Semesta
Putih bak kapas.

Sesaat kemudian
Gulungan kabut diurai angin
Bukit doa cerah
Sang Ratu Alam Semesta anggun
Memesona kalbu
Jiwa peziarah.

Kaki terlanjur melangkah
Dapati dua pemuda-remaja
Menunggangi kuda pacu
Langkah kaki kuda berdetak
Ritme selaras gesekan dedaunan.

Lempar senyum sapa
Tanya nama kuda-kuda itu
“Soga Maghi”
“Soga Bena”
Pemuda itu bersuara lantang
Gema menjangkau Lopijo

Dengan dialek Bajawa nan kental.

Kuda-kuda berpostur pendek-gempal
Lincah kakinya berlari
Seperti menari ja’i.

Kuda-kuda stamina mumpuni
Ditempa alam
Turun naik lembah
Pantang menyerah
Bak para punggawa PSN Ngada berlaga
Digdaya di jagat sepak bola.

Kabut pun kembali dibawa angin
Kitari Bukit Doa
Panorama tertutup awan
Keindahan dan sihir Beisipo
Menebar magis tradisi-budaya Ine Ngadha
Terasa sedang berada di negeri di atas awan.

Oh, Ema Dewa
Rima gasi
Karena-Mu aku bisa berkelana ke sini.

Bukit Doa dan Spirit PSN Ngada

Petualanganku di Bukit Doa Wolowio bertepatan dengan momentum Liga Nusantara. Kala itu, PSN Ngada bersiap bertarung melawan Perseden di tanah Panembahan Senopati, Solo, Jawa Tengah. Aku membayangkan semoga julukan “Laskar Jaramasi” menjadi cerminan kegigihan anak-anak Ngada—layaknya kuda-kuda Bajawa yang lincah, penuh tenaga, dan tak kenal menyerah dalam medan pacuan.

Bukan hanya sebuah kompetisi olahraga, tapi perjalanan PSN Ngada di Liga Nusantara seakan memiliki nilai spiritual tersendiri. Bukit Doa Maria Ratu Semesta Alam menjadi kiblat, tempat meminta dan bersyukur melalui Ine Maria. Semoga dari bukit doa ini, lahir harapan dan restu agar mereka dapat menjadi yang terbaik—seperti kuda-kuda yang siap berpacu hingga batas terakhir kekuatan mereka.