gbm.my.id – Sembilan Belas Juni 2013. Langit biru cerah menyambut keberangkatan saya dari Jakarta menuju Townsville, Australia. Perjalanan panjang, seperti biasa, selalu membawa kejutan tak terduga. Tapi saya tak menyangka, kali ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan yang mempertemukan saya dengan seseorang yang membawa harapan dan mimpi besar dari tanah Flores ke panggung internasional—dengan sepak bola sebagai jalannya.

Ia duduk di sebelah saya. Tinggi, kurus semampai, berpenampilan rapi, dan pembawaannya sangat ramah. Tapi yang paling menarik perhatian saya: ia fasih berbahasa Spanyol. Dialeknya kental, seperti penutur asli dari kawasan Amerika Latin.

Tentu, rasa penasaran saya tak bisa dibendung. Wajahnya tidak menunjukkan ciri khas Latin. Ia lebih mirip orang kampung halaman sendiri.

“Dari mana, Pak?” tanya saya, mencoba membuka percakapan.

“Dari Manggarai,” jawabnya, singkat dan tenang.

Saya langsung merasa terhubung. “Kami dari Nagekeo,” balas saya sambil tersenyum.

Ia menatap saya dengan sorot mata penuh pengenalan. “Iya. Saya lihat dari motif rompi yang kamu pakai. Ini pasti orang Bajawa.”

Percakapan pun mengalir seperti arus sungai di musim hujan. Tentang Bajawa, tentang nostalgia tahun 90-an. Tentang sayur pucuk labu yang nikmat, aroma kopi pagi, dan udara dingin yang menyapa setiap pagi di dataran tinggi Ngada. Ia mengenal Bajawa begitu dalam. Bukan sekadar tahu, tapi menyimpan cinta dan ingatan.

Saya penasaran, “Kalau saya boleh tahu, kraeng kerja di mana? Sebagai apa?”

Dengan tawa kecil dan kerendahan hati, ia menjawab, “Jalan-jalan saja.”

Saya menggeleng sambil tersenyum, “Ah, tidak mungkin kraeng.”

Lalu saya menebak, “Apa kraeng agen pemain?”

Ia mengangguk. “Iya. Saya agen pemain dan pelatih asal Amerika Latin.”

Saya hampir tak percaya. Sosok bersahaja di samping saya ini ternyata punya jaringan global. “Wow… luar biasa. Kami bangga memiliki Anda. Apalagi Anda menjadi bagian dari manajemen Mr. Blanco,” kata saya sambil menepuk bahunya dengan kagum.

Kami berbicara banyak tentang sepak bola. Tentang gairah membara di Amerika Latin, tentang atmosfer stadion di Kolombia, Bolivia, bahkan Argentina. Ia mengakui: sepak bola di sana bukan sekadar olahraga. Itu identitas. Itu hidup.

Sayangnya, kata dia, Indonesia belum sampai di sana. Terlalu banyak potensi terabaikan. Terlalu banyak talenta yang tersia-sia hanya karena sistem yang tak mendukung. Dan, menurutnya, Ngada—Bajawa khususnya—memiliki bibit-bibit luar biasa. Tapi mereka tidak ditangani secara serius.