gbm.my.id – Akhir-akhir ini, Nagekeo diwarnai dengan berbagai event bertajuk “festival.” Kata ini bukanlah sesuatu yang asing, tetapi jarang terdengar sejak kabupaten ini berdiri. Mbay, sebagai ibu kota, masih jauh dari hiruk-pikuk sebuah kota besar. Hiburan pun minim, dan batas ibu kota nyaris tak terlihat. Bahkan, saat malam tiba, gelap masih menyelimuti sebagian besar wilayahnya.
Sering kali, orang bercanda bahwa sulit membedakan Mbay sebagai ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan. Namun, kritik yang dibalut candaan ini mestinya menjadi cambuk bagi pemerintah setempat untuk mengembangkan strategi pembangunan yang mampu mengubah wajah Mbay. Tidak hanya sekadar menjadi pusat administratif, tetapi juga jantung perekonomian Nagekeo.
Salah satu cara untuk memperkenalkan Nagekeo kepada dunia luar adalah melalui festival. Beberapa festival telah digelar, seperti Festival Ena Ghera dan Festival Seafood, dengan tujuan mempromosikan kekayaan budaya dan potensi daerah ini. Harapannya, festival-festival ini mampu menarik wisatawan dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat setempat. Sejalan dengan visi Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, yang menetapkan pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana dampak dari festival-festival tersebut? Berapa banyak wisatawan yang datang setelah festival berakhir? Berapa besar efek ekonomi yang dirasakan masyarakat setempat? Apakah setelah Festival Ena Ghera, geliat kehidupan di lokasi tersebut tetap hidup, atau justru kembali sepi? Begitu pula dengan Festival Seafood—apakah ada peningkatan jumlah rumah makan yang menyajikan makanan laut?
Mungkin terlalu dini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena festival-festival tersebut masih dalam tahap awal. Namun, dalam perspektif ekonomi, setiap kegiatan harus dievaluasi secara berkala. Pemerintah tidak hanya harus menjadi penyelenggara, tetapi juga mengevaluasi dan memastikan kesinambungan dampak dari setiap event yang digelar.
Selepas Festival Ena Ghera, publikasi dan aktivitas di lokasi tersebut tampak meredup. Semoga saya keliru, tetapi jika benar demikian, ini menjadi bahan refleksi. Festival demi festival terus bermunculan, seolah-olah Nagekeo ingin menjadi kabupaten seribu satu festival. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, sebelum berlanjut ke festival berikutnya, evaluasi harus dilakukan agar tidak sekadar menjadi euforia yang menghabiskan anggaran besar tanpa manfaat berkelanjutan.
Festival yang baik seharusnya memiliki nilai lebih, terutama dalam aspek pemberdayaan ekonomi masyarakat. Misalnya, mengundang artis ibukota memang bisa menjadi daya tarik, tetapi apakah itu cukup? Festival harus dirancang agar lebih dari sekadar hiburan; ia harus membangun ekosistem ekonomi yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton.
Belajar dari Ngada dan Festival Inerie
Demam festival tidak hanya melanda Nagekeo, tetapi juga daerah lain di NTT. Kabupaten tetangga, Ngada, menggelar Festival Inerie yang sukses menarik perhatian banyak pihak. Kabupaten ini memang lebih matang dalam mengelola pariwisata dibanding daerah lain di Flores. Siapa yang tak kenal Kampung Bena, Kampung Gurusina, atau Negeri 17 Pulau Riung?
Keunggulan Ngada terletak pada kesiapan infrastruktur dan kesadaran masyarakat dalam menjaga tradisi. Mantan Bupati Ngada, Marianus Sae, bahkan pernah menolak Tour de Flores karena merasa infrastruktur dasar perlu diperkuat sebelum menggelar event berskala internasional.
Festival Inerie sukses karena melibatkan semua elemen masyarakat. Event ini bukan sekadar tontonan, tetapi sebuah peristiwa budaya yang mengangkat kekayaan musikalitas, tari, dan tenun khas Ngada. Partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan. Festival ini bukan hanya untuk pemerintah atau penyelenggara, melainkan milik seluruh warga Ngada. Mereka bukan hanya tamu, tetapi juga tuan rumah dan pelaku utama.
Mengapa Nagekeo Perlu Belajar?
Sebuah event harus berkelanjutan dan memberikan dampak nyata. Selain aspek budaya, festival harus mampu menciptakan komunitas dan individu yang memiliki jiwa wirausaha. Jika masyarakat setempat tidak diberdayakan, maka festival hanya akan menjadi ajang hiburan sesaat tanpa manfaat jangka panjang.
Nagekeo tidak perlu jauh-jauh belajar ke Jawa atau Bali. Tengok saja Ngada. Bagaimana komunitas lokal mengelola sektor pariwisata? Bagaimana sebuah desa terpencil seperti Manulalu bisa menarik perhatian wisatawan nasional, bahkan selebritas seperti Darius Sinathrya dan Donna Agnesia?
Daripada menggelar terlalu banyak festival, lebih baik fokus pada satu festival yang benar-benar mengangkat seluruh potensi Nagekeo dan membuat masyarakat merasa memiliki event tersebut. Karena pada dasarnya, masyarakat Nagekeo adalah pelaku budaya dan seni. Hanya saja, ruang ekspresi mereka masih terbatas. Jika ingin belajar dari pengalaman nyata, cukup lihat Festival Inerie dan bagaimana masyarakat Ngada merawatnya.***