gbm.my.id – Hawa kota Townsville menusuk sum-sum. Dingin, pekat, dan sunyi. Namun, dinginnya pagi tak cukup untuk meredam niatku berangkat ke kampus. Setelah sarapan seadanya, aku melangkah keluar. Kali ini tak ada teman yang menumpangkan motornya. Aku harus menumpang bus kota.
Setibanya di University Hall, aku menyusuri jalan setapak menuju perpustakaan Eddie Koiki Mabo. Langkahku melewati sebuah jembatan kecil, dan di sanalah aku melihatnya lagi—gadis yang tak pernah benar-benar hilang dari pikiranku. Ia duduk di bangku beton di bawah pohon rindang. Rambut pirangnya berkilau di bawah sinar matahari yang menyusup di antara dedaunan.
Aku berlalu, berpura-pura tak peduli. Namun, bayangannya tetap bertahan di kepalaku, seperti puisi yang belum selesai. Wajahnya, kehadirannya, seperti sesuatu yang sedang memanggilku, tetapi aku tak tahu apa yang ingin ia sampaikan.
Hari itu, di acara Friday Free Lunch, aku melihatnya lagi. Para mahasiswa internasional berkumpul di taman kampus, menikmati roti, sosis, dan obrolan ringan. Gadis itu duduk di bangku panjang, sedikit menjauh dari keramaian.
Aku memberanikan diri melangkah ke arahnya.
“Selamat pagi,” sapaku.
Ia menoleh, tersenyum tipis. “Pagi.”
“Bolehkah aku duduk di sini?”
“Tentu.”
Aku mengamati wajahnya, matanya seolah menyimpan kisah-kisah yang tak terucapkan. Percakapan kami mengalir, tentang negara asal, kehidupan kampus, dan hal-hal sepele yang terasa begitu berarti. Aku tahu kini, ia berasal dari French Polynesia, negara kecil di Samudera Pasifik yang pernah menjadi koloni Prancis.
Namun, ketika obrolan kian hangat, ponselnya berdering. Ia meminta izin pergi, meninggalkanku dengan setumpuk pertanyaan yang tak sempat kutanyakan—termasuk namanya.
Aku kembali ke kelompok mahasiswa Indonesia, menghabiskan makan siangku. Namun, gadis itu terus membayang di pikiranku. Ia bukan seperti yang kubayangkan—bukan penyendiri, bukan sosok yang tak ingin bergaul. Ia justru ramah dan begitu ringan dalam bertutur.
Setelah hari itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Taman kampus terasa kosong. Bangku beton di tepi kali mati yang biasa ia duduki kini hanya dihuni oleh bayangannya di kepalaku.
Sebulan berlalu. Aku mulai menerima kenyataan bahwa mungkin pertemuan singkat itu hanyalah sekelebat angin yang datang dan pergi.
Namun, hidup sering kali menyimpan kejutan.
Malam itu, aku menunggu bus di halte kampus, di seberang University Hall. Udara dingin menggigit, lampu-lampu kampus berpendar samar. Sebuah sedan berhenti tak jauh dariku. Seorang wanita turun, berjalan ke arah kotak sampah di dekat tempatku duduk. Aku tak terlalu memperhatikannya, hingga ia semakin dekat.
Lalu, hatiku berdetak lebih kencang. Itu dia.
Tanpa berpikir panjang, aku menyapanya. “Hi.”
Ia tersentak, matanya membesar sejenak, lalu tersenyum samar. “Hai. Apa kabar?”
Aku berdiri, menyodorkan tangan. Jantungku berdebar, tetapi aku tersenyum. Entah karena bahagia akhirnya bertemu lagi, atau karena ada sesuatu dalam dirinya yang masih ingin kucari.
Dan mungkin, ia juga merasakan hal yang sama.
Kami tak bisa berbincang lama. Ebony memarkir mobilnya di tempat yang tak seharusnya, dan malam sudah merayap semakin larut. Ia menawarkanku tumpangan pulang, tapi aku menolak dengan alasan yang kubuat sendiri. Bukan karena tak mau, tapi sebagai lelaki, aku tak ingin terlihat terlalu mudah terbaca. Sesekali, menjaga jarak bisa menjadi cara menjaga pesona.
“Kita sudah sering bertemu, tapi tak pernah bertanya nama masing-masing.”
“Benar sekali.” Ia tersenyum, senyum yang entah mengapa terasa hangat di dada.
“Siapa namamu?”
“Ebony.”
“Marvel.” Aku menyodorkan tangan, dan ia menyambutnya. Sebuah jabat tangan yang kedua kali, tapi terasa seperti awal yang baru.
Kami sepakat untuk bertemu lagi. Tanpa janji yang pasti, tanpa tempat yang jelas. Hanya sebuah keyakinan samar bahwa semesta akan mempertemukan kami kembali. Hatiku mengembang. Asa yang nyaris pupus kembali menyala.
Hari-hari berlalu, dan hubungan kami semakin erat. Kampus yang asri menjadi tempat favorit untuk berbincang, bertukar cerita, merangkai kenangan. Ia tertawa saat aku menceritakan kekonyolan saat pertama kali menjejakkan kaki di Australia. Suaranya mengalun seperti melodi lembut yang memenuhi ruang kosong dalam hidupku.
Namun, di satu senja yang hening, di bangku favoritnya, ia mengungkapkan sesuatu yang tak pernah kuduga.
“Maaf, Marvel, aku pernah pergi tanpa kabar…” Suaranya meredup, seperti rindu yang tertahan terlalu lama.
Ia bercerita tentang telepon yang berdering saat Friday Free Lunch—telepon yang memanggilnya pulang ke French Polynesia. Putra sulungnya, satu-satunya buah cinta dari pernikahannya dengan mendiang suaminya, tiba-tiba jatuh sakit. Sebulan lebih ia berada di sana, merawatnya, mengisi celah kosong dalam hidupnya yang ditinggalkan oleh suami tercinta.
“Seandainya aku bisa membangkitkan suamiku, aku akan melakukannya…” lirihnya.
Matanya menerawang jauh, seolah melihat kenangan yang tak lagi bisa diraih. Ia lalu bercerita tentang suaminya, seorang lelaki sederhana yang tak pernah lelah bekerja, meski sering dipandang rendah oleh keluarga dan kerabat Ebony.
“Aku marah dengan cara pandang mereka,” suaranya bergetar. “Aku berjanji dalam hati, suatu hari aku akan membuktikan bahwa kami bisa melampaui mereka.”
Dan ia membuktikannya. Kariernya menanjak, status sosialnya diakui. Tapi suaminya tetaplah pria yang sama—sederhana, tulus, dan penuh cinta. Hingga ajal memisahkan mereka.
“Aku menyesal, Marvel. Kehilangannya terasa begitu pahit. Kadang aku bertanya pada Tuhan, mengapa Ia mengambilnya begitu cepat?” Air mata mengalir di pipinya, dan aku hanya bisa diam. Menatapnya dalam sunyi yang penuh pengertian.
Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, ia mengucapkan sesuatu yang menyentuh relung terdalam di hatiku.
“Cinta itu bukan diukur dari materi. Bukan tentang siapa yang memberi lebih banyak, siapa yang punya lebih tinggi. Cinta adalah dua batin yang saling merindukan, dua hati yang menemukan rumahnya dalam satu sama lain.”
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya mengendap di benakku. Rasanya aku ingin meraih bahunya, membiarkan ia bersandar di dadaku. Tapi aku menahan diri.
“Ah, lebay…” gumamku dalam hati.
Malam semakin larut. Kami mengakhiri percakapan di bawah langit Townsville yang kelam, diterangi lampu-lampu dari kejauhan. Kali ini, aku menerima tawaran Ebony untuk mengantarku pulang. Dan untuk pertama kalinya, di dalam mobilnya yang melaju pelan, aku menyadari satu hal.
Aku tak sekadar mengaguminya. Aku mencintainya.
Namun, apakah cinta ini akan menemukan jalannya?