gbm.my.id – Aku tidak ingat pasti hari itu. Seperti biasa, malam telah larut saat aku duduk di bangku halte menunggu bus terakhir yang akan membawaku pulang. Bukan karena aku terlalu rajin belajar hingga lupa waktu—tidak. Aku sengaja menunggu hingga malam benar-benar senyap. Di jam-jam seperti itulah, jalanan mulai lengang, sopir bus cenderung lebih lunak, dan besar kemungkinan mereka mengizinkanku turun persis di depan rumah. Kalau masih ramai, mereka takkan berani, apalagi hanya beberapa meter dari rumahku terdapat lampu merah dan simpang tiga. Bus harus berbelok, dan menaati aturan adalah harga mati.
Tapi malam itu berbeda.
Aku meninggalkan Building 17 lebih awal dari biasanya karena khawatir ketinggalan bus terakhir. iPhone di sakuku menunjukkan pukul 22.00 tepat. Seperti biasa, beberapa mahasiswa lain juga duduk menunggu di halte. Suasana biasa—kecuali satu hal.
Dari kejauhan, di sudut Education Central, aku melihat seorang wanita berjalan perlahan. Ia menggerek koper besar dengan satu tangan, dan tangan lainnya memegang tongkat. Langkahnya goyah. Bukan karena mabuk, tapi karena tubuhnya memang rapuh. Ia penyandang disabilitas.
Langkahnya lambat, namun pasti menuju pintu bus yang sudah berhenti. Tak satu pun dari penumpang di dalam bergerak. Sopir tetap duduk di kursinya. Seorang lelaki yang tengah mengantri tampak ragu, hendak menolong, tapi seperti menahan diri. Bukan karena tak peduli. Mereka hanya hati-hati. Di sini, orang cenderung bertanya dulu sebelum membantu. Sebab kemandirian adalah kebanggaan yang dijunjung tinggi. Niat baik bisa melukai harga diri bila tak dibarengi empati.
Akhirnya wanita itu berhasil naik, menyeret kopernya dan duduk di bangku yang memang disediakan untuk difabel. Aku duduk di bagian tengah bus, diam dan menatap ke luar jendela. Ada rasa yang mengambang dalam batin, tapi belum kujelaskan.
Sekitar 100 meter menjelang halte Leopold, aku menekan tombol. Isyarat untuk sopir bahwa aku akan turun. Saat menapakkan kaki di tanah dan mengucap “thanks” dengan ringan, aku merasa ada bayangan lain di belakangku. Biasanya aku sendiri yang turun di halte itu malam-malam begini. Aku menoleh.
Dia. Wanita itu.
Kami berjalan di jalan yang sama. Aku di depan. Ia beberapa langkah di belakang. Terdorong oleh sesuatu yang entah apa, aku melambat, lalu melihat ke arahnya. Aku tak berkata-kata, tapi dalam hati aku bertanya: “Mengapa ia turun di sini? Ke mana ia akan pergi malam-malam begini dengan tongkat dan koper besar itu?”
Dan kemudian, seperti ada suara kecil berbisik:
“Kau masih lebih beruntung, bukan?”
Langkahku makin berat. Ada sejumput rasa iba, campur syukur, campur malu—perasaan yang tak bisa kubungkus dengan satu kata. Setengah jalan menuju pertigaan Bergin Street, aku menoleh ke belakang.
Kosong.
Tak ada siapa-siapa.
Ia lenyap dalam pelukan malam.
Aku terus berjalan pulang, tapi hatiku tertinggal di halte itu. Terus membayangkan bagaimana ia berjalan, bagaimana ia berjuang. Dan untuk apa?
Seminggu kemudian, aku melihatnya lagi. Kali ini bukan di halte, bukan pula di jalanan malam. Ia duduk di lantai dasar perpustakaan universitas. Mengenakan baju yang sama, koper yang sama. Ia duduk tenang, fokus pada komputer di depannya. Mengerjakan sesuatu yang entah apa, tapi begitu sungguh-sungguh. Setiap hari, ia ada di sana. Di tempat yang sama. Dengan semangat yang sama.
Dan aku, yang sehat, yang bisa berjalan tanpa tongkat, yang tak perlu menggerek beban besar ke mana-mana, sering kali masih mengeluh. Sering kali merasa sendiri.
Melihatnya, ada satu rasa yang membuncah dan tumbuh: bangga. Bukan pada diri sendiri, tetapi pada manusia seperti dia. Pada mereka yang tak banyak bicara, tapi tiap langkahnya adalah doa dan keberanian.
Sejak saat itu, aku mengerti satu hal:
Tuhan mungkin tak terlihat, tapi Ia selalu hadir—dalam bentuk yang tak kita duga.
Ia hadir dalam sosok wanita penyandang disabilitas yang tetap belajar, tetap percaya, tetap berjuang. Ia hadir dalam kerendahan hati, dalam senyapnya malam, dalam bisikan-bisikan syukur di hati yang tak sempat diucapkan. Tuhan hadir… dalam cara yang (tak) kelihatan oleh mata.
Dan malam itu, di halte yang biasa-biasa saja, aku menemukan pelajaran paling luar biasa.