gbm.my.id – Dari Lati Fui, kami melanjutkan perjalanan menuju Takpala, salah satu kampung adat yang lebih populer di Alor. Jaraknya hanya sekitar dua kilometer. Meski tak jauh, perjalanan menuju Takpala menawarkan pengalaman berbeda. Jalan yang berkelok dan mendaki menyajikan panorama laut yang luar biasa di sisi bukit.
Setiba di area parkir, langit tampak mendung, menambah kesan magis di kampung adat ini. Dari tempat parkir, kami harus menaiki tangga beton, lalu berjalan sekitar 40 meter di jalan tanah dan menaiki tangga batu sebelum akhirnya mencapai pelataran kampung.
Takpala tampak lengang. Hanya dua wanita paruh baya yang duduk di sudut, menggelar dagangan mereka. Salah satu dari mereka menghampiri kami, menyambut dengan senyum hangat dan menjabat tangan kami satu per satu. Ia lalu mengantar kami ke rumah adat, tempat kami akan mengenal lebih jauh sejarah dan budaya Takpala.
Tak lama, seorang lelaki datang menghampiri. Ia memperkenalkan diri sebagai Kafel Kai. Dengan suara ramah, ia mulai bercerita. Menurutnya, rumah-rumah adat Takpala mulai dibangun pada tahun 1987. Saat itu, seluruh penduduk turun dari gunung untuk membangun rumah adat bersama. Kini, rumah-rumah ini menjadi pusat kebudayaan, tempat berbagai pertunjukan seni dan ritual adat digelar.
Dibandingkan Lati Fui, rumah adat di Takpala lebih banyak. Halamannya pun lebih luas, menjadikannya arena ideal untuk pertunjukan tari tradisional. Di tengah kampung, terdapat mesbah adat yang sakral. Sementara itu, bagi pengunjung, tersedia tempat duduk dari bambu untuk menikmati setiap pertunjukan dengan nyaman.
Hujan mulai reda. Perbincangan kami dengan Bapak Kafel Kai hampir usai. Sebelum pergi, saya meminta izin untuk mengambil gambar. Menariknya, ia justru meminta waktu sejenak untuk berganti pakaian adat terlebih dahulu. Sepuluh menit kemudian, ia keluar dengan busana khas suku Abui. Sorban bulu ayam melilit kepalanya. Sabuk panah melingkar di pinggang, sementara parang tersampir gagah di sisi tubuhnya. Sarung tenun khas membalut tubuh berototnya. Keseluruhan tampilan ini mencerminkan sosok yang berwibawa, penuh kharisma.
Yang mengejutkan, Bapak Kafel Kai ternyata sangat piawai berpose di depan kamera! Ia bahkan memandu kami bagaimana sebaiknya bergaya agar foto terlihat lebih menarik. Kami tertawa, tak menyangka ia begitu menikmati sesi pemotretan ini.
Tanpa terasa, satu jam berlalu. Kami berpamitan dan menuruni tangga, menikmati sekali lagi pemandangan yang terbentang di hadapan mata. Dari kejauhan, menara Bandara Mali terlihat di ujung pulau. Laut biru yang tenang tampak seperti lukisan hidup, meneduhkan jiwa.
Rasa kagum terus menyertai perjalanan kami kembali. Di sela-sela itu, ponsel Anis terus berdering—keluarga menanyakan keberadaan kami. Rupanya, kopi hangat, ubi kayu rebus, nasi, dan kuah ikan khas Alor sudah terhidang di rumah. Kami pun mempercepat langkah, membayangkan kelezatan kuliner yang sudah menunggu. ***