gbm.my.id – Di balik sosoknya yang sederhana dan rendah hati, Sr. Virgula SSpS menyimpan kisah luar biasa tentang panggilan hidup, pengorbanan, dan cinta bagi mereka yang terpinggirkan. Lahir di Grunebach, Jerman, ia adalah putri bungsu dari delapan bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dari pasangan Yoseph Smith dan Ana. Keputusan untuk menjalani hidup membiara bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia melewati pergolakan batin yang dalam, sesuatu yang ia sebut sebagai “keganjilan” sebelum akhirnya menemukan panggilannya.

Perjalanannya membawanya jauh ke belahan dunia lain. Atas penunjukan pimpinan kongregasi SSpS, ia menjalani misi ke Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebuah keputusan yang mengubah hidupnya selamanya.

Suatu hari, dalam satu momen yang tak disangka, ia bertemu dengan Presiden Soekarno. Kala itu, Soekarno tengah menjenguk putrinya, Megawati, yang dirawat di Rumah Sakit Sint Carolus, Jakarta. Ketika mengetahui bahwa Sr. Virgula akan bertugas di Flores, Soekarno pun mengenang teman-temannya di Ende. Dengan penuh semangat, ia menyebutkan nama-nama mereka dan menitipkan salam. Dan sebelum berpisah, tiba-tiba ia berkata, “Aduh, kau cantik sekali.”

Sr. Virgula terkejut. Ia bahkan sempat protes, merasa tak pantas menerima pujian seperti itu. Namun, barulah belakangan ia diberi tahu oleh para suster lainnya bahwa pria yang memujinya adalah Presiden Republik Indonesia. Betapa terkejutnya dia!

Kisah tentang Sr. Virgula sejatinya penuh warna, tetapi ia sendiri bukanlah tipe orang yang ingin kisahnya dipublikasikan. Dalam kesederhanaannya, ia selalu berkata, “Ini karya Tuhan sendiri, bukan karya saya. Saya bukanlah orang hebat atau orang pintar yang layak dibukukan. Saya hanya melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki.” Begitulah prinsip hidupnya, penuh ketulusan dan keikhlasan.

Namun, ada satu pengecualian yang pernah ia sampaikan. “Kalau saya sudah tidak ada, terserah kamu menulis tentang saya,” katanya. Kini, ia memang “sudah tidak ada”—bukan dalam arti telah meninggal, tetapi telah kembali ke Steyl, Belanda. Maka, kisahnya pun kini bisa dibagikan kepada dunia.

Ziarah panjangnya di tanah Flores melahirkan cinta yang mendalam bagi mereka yang terpinggirkan. Ia mendedikasikan hidupnya bagi kaum kusta dan penyandang disabilitas, mereka yang kerap dianggap sebagai “kaum terbuang.” Dengan penuh kasih, ia mendirikan lembaga yang kini telah berusia 50 tahun. Sebuah warisan besar yang meski ia tidak lagi di sana, tetap tumbuh dan berkembang.

Anak-anak di tempat yang pernah ia layani memanggilnya dengan penuh kasih sayang: “Mama Lula.” Sebuah panggilan yang menunjukkan kedekatan dan kehangatan yang ia bagi tanpa pamrih. Danke, Mama Lula. Kau memang cantik—secantik hatimu dan niat tulusmu bagi mereka yang membutuhkan.