gbm.my.id – Pagi itu langit Kupang bersih. Matahari belum meninggi saat saya melangkah ke bandara. Tugas kali ini membawa saya terbang ke Maumere, Kabupaten Sikka, untuk melaksanakan misi yang mungkin bagi sebagian orang terdengar teknis dan administratif: Monitoring dan Evaluasi. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, di balik data dan dokumen, selalu ada kisah tentang waktu, manusia, dan langkah-langkah kecil yang tak terlihat.
Pukul 07.15 saya mengudara bersama Lion Air. Perjalanan dari Kupang ke Maumere hanya 45 menit, tapi bagi saya, ini adalah kesempatan untuk menenun kembali simpul-simpul kerjasama dan niat baik antar lembaga.
Di Bandara Frans Seda, saya dijemput oleh seorang teman dari UPT Dinas Perhubungan Provinsi NTT. Mobil yang menjemput kami langsung menuju Kantor Bappeda Sikka. Di sana, saya diterima dengan ramah oleh Sekretaris Bappeda, Pak Martinus Minggo. Seperti pertemuan-pertemuan administratif lainnya, saya menyampaikan maksud kunjungan: menyerahkan materi dan format DAK 2017, mengumpulkan data peta jaringan jalan kabupaten beserta SK Bupati, serta mengecek progres kelompok masyarakat penerima program Anggur Merah—program khas yang menjadi ikon pemberdayaan lokal di NTT.
Setelahnya, saya diarahkan ke Bidang Litbang. Di sana saya bertemu dengan Pak Peter, Kabid Litbang, yang menyambut dengan kesabaran dan keterbukaan. Dokumen diserahkan, sedikit diskusi, dan tugas pertama pun rampung.
Namun, saya belum bisa bernapas lega. Saya melangkah lagi ke bagian Tata Ruang dan Infrastruktur. Pak Yanuarius Laba, sosok yang hangat dan penuh semangat, membantu saya memperoleh peta dan dokumen SK Bupati yang diperlukan. Meski semuanya hanya tersedia dalam bentuk hardcopy, saya bersyukur bisa menemukannya. Fotokopi? Tak masalah. Dalam tugas seperti ini, setiap dokumen adalah potongan penting dari puzzle besar pembangunan.
Tugas di Bappeda selesai, saya melanjutkan perjalanan ke Kantor Bupati untuk menyerahkan Surat Gubernur kepada Bupati Sikka. Tapi hidup kadang berjalan seperti cerita pendek yang belum tuntas: Bupati tidak berada di tempat. Saya diarahkan ke Hotel Pelita, lokasi kegiatan beliau hari itu.
Saya nyaris menyerah. Namun, ketika saya baru duduk di mobil, sebuah mobil melintas—mobil dinas Bupati. Sekejap saya dan teman langsung turun. Tak ingin kehilangan momen, kami melangkah cepat menuju ruangannya. Dan akhirnya, Bapak Ansar Rera, Bupati Sikka, menerima kami.
Dalam pertemuan singkat itu, saya menyampaikan permohonan penting dari Pemerintah Provinsi: agar Bupati mendorong SKPD penerima DAK untuk segera mengajukan usulan sebelum 10 Juni 2016. Waktu semakin sempit. Semua pihak harus berpacu dengan deadline. Jawaban beliau lugas dan menenangkan: “Hari ini siang akan ada rapat koordinasi antara Bappeda dan seluruh SKPD penerima DAK.”
Dua tugas besar selesai. Tapi belum tuntas. Masih ada satu misi lagi—yang justru paling menyentuh sisi kemanusiaan saya: mendokumentasikan kegiatan kelompok masyarakat (POKMAS) Desa/Kelurahan Mandiri Anggur Merah.
Janji temu sudah saya atur. Esok saya akan bertemu suami dari tenaga PKM untuk mengunjungi lokasi. Meski terdengar sederhana, tugas ini jauh lebih bermakna. Di sanalah saya akan bertemu langsung dengan masyarakat. Menyaksikan wajah-wajah yang tak masuk dalam statistik, namun sejatinya adalah jantung dari setiap rencana pembangunan.
Esok harinya, seperti yang telah dijanjikan, saya bertolak menuju lokasi kegiatan Kelompok Masyarakat Mandiri Anggur Merah. Jalan menuju desa itu tak selalu mulus. Tapi setiap kilometer yang saya tempuh, membawa saya lebih dekat pada inti dari semua data dan dokumen yang kemarin saya serahkan: wajah-wajah kehidupan nyata.
Sesampainya di sana, saya disambut oleh suami dari tenaga PKM. Kami menyusuri area kegiatan—lahan pertanian kecil, kandang ternak sederhana, dan sebuah balai pertemuan yang tampak sering digunakan warga untuk berdiskusi. Saya mengambil beberapa dokumentasi. Tapi jauh lebih dari sekadar foto, saya merekam sesuatu yang tak bisa ditangkap kamera: semangat dan harapan.
Kelompok ini terdiri dari orang-orang biasa. Petani, ibu rumah tangga, pemuda-pemudi kampung. Tapi semangat mereka luar biasa. Program Anggur Merah bagi mereka bukan sekadar proyek. Itu adalah peluang. Titik awal untuk mandiri. Untuk menunjukkan bahwa mereka juga bisa membangun dari bawah, dari desa, dari tangan mereka sendiri.
Saya terdiam cukup lama di satu sudut. Ada seorang ibu tua yang sedang membersihkan sayur-sayuran di halaman kelompok. “Ini semua bantuan dari program?” saya bertanya. Ia mengangguk pelan. “Bantuan datang dan pergi, pak. Tapi kami di sini terus bekerja. Supaya anak-anak kami nanti bisa lebih baik dari kami.”
Jawaban itu menggetarkan. Saya berpikir kembali ke ruang-ruang kantor kemarin—dengan jargon, angka, dan target waktu. Seringkali kita lupa bahwa di balik satu angka usulan DAK, ada sekian nyawa yang menggantungkan masa depannya.