gbm.my.id – Kegiatan saya di Labuan Bajo telah usai. Tetapi perjalanan saya belum benar-benar berakhir. Kupang menanti, namun sebelum itu, ada satu urusan kecil yang harus saya selesaikan di kampung halaman. Maka saya memutuskan untuk kembali lewat Ende, bukan hanya karena lebih dekat, tapi karena saya ingin menikmati perjalanan darat—mencicipi kembali denyut kehidupan di sepanjang jalur Flores yang saya cintai.

Saya naik travel Gunung Mas menuju Ruteng. Penuh, tanpa satu kursi kosong. Penumpangnya beragam, didominasi orang Manggarai, sisanya turis asing. Aroma petualangan langsung terasa sejak saya duduk. Di sebelah saya, seorang lelaki Manggarai yang ramah. Dengan bahasa Manggarai yang fasih, saya bertanya: “Mo’a kai? Ko asal dai mana?” – percakapan kecil yang membuka ruang kehangatan antar orang asing dalam satu mobil.

Setelah itu, saya memilih diam, melemparkan pandangan keluar jendela. Jalanan Flores memang seperti lukisan yang bergerak. Pepohonan menari, perbukitan menyapa, awan menjelma seperti pemandu jalan. Sesekali saya angkat iPhone dan membekukannya dalam bingkai foto.

Tapi meski mata saya menatap ke luar, telinga saya tetap menangkap bunyi di dalam: suara penumpang, suara sopir, suara musik, dan yang paling mencuri perhatian—suara dialek.

Flores, Pulau Seribu Suara

Sopirnya orang Manggarai, tapi logatnya menyerempet Bajawa. Penumpang di baris belakang bicara Manggarai dialek Waerana. Yang di depan, bicara dialek Kempo. Di tengah, suara lirih turis asing dengan bahasa Inggris, diselingi patah-patah bahasa Indonesia: “Berapa jam… sampe Ruteng?” Bahkan dari aksen mereka, saya bisa menebak asal mereka: Jerman, Belanda, Prancis.

Flores memang rumah bagi banyak lidah. Dari Manggarai Barat hingga Flores Timur, dialeknya bisa berubah tiap lembah dan bukit. Logat Kolang berbeda dengan Lembor, Rekas berbeda dengan Cibal. Belum lagi ketika seorang Bajawa berbicara Manggarai, atau sebaliknya—penuh warna, kadang lucu, tapi justru di sanalah letak keindahannya.

Saya jadi ingat teman-teman mahasiswa asal Flores yang kuliah di Jawa atau Kupang. Hanya satu-dua tahun merantau, mereka sudah bicara bahasa Indonesia dengan aksen baru. Kadang dialek Jawa, kadang Kupang. Lucu? Ya. Tapi itu adalah usaha bawah sadar manusia untuk ‘mengakar’ pada tanah tempat dia berpijak.

Namun saya belum pernah dengar ada orang Flores berbicara bahasa daerah dengan logat Jerman atau Inggris. Menarik, bukan?

Nada Dalam Logat

Dari ragam dialek itu, saya mendengar bukan hanya kata, tapi nada. Ada musikalitas dalam setiap ujaran. Bicara pun adalah bernyanyi, meski tanpa melodi.

Pak Agus Salju, guru seni saya dulu, pernah bercerita tentang seorang rohaniwan Katolik yang menciptakan lagu hanya dari bunyi-bunyi yang ia dengar selama berlayar di perairan Flores Timur. Deru perahu motor, siulan ABK, bahkan suara angin—semuanya ia terjemahkan menjadi notasi angka. Dari situlah lagu lahir. Orisinal. Berakar.

Saya percaya, siapa pun yang mendengar dengan sungguh, bisa mencipta. Kita hanya perlu membuka telinga selebar-lebarnya saat bepergian. Dengarkan dialog antarsuku, antara pulau, antara budaya. Semua itu seperti harmoni tanpa partitur.

Sayangnya, kita terlalu sering mendengar musik, tanpa pernah berpikir untuk menciptakannya sendiri. Sopir memutar lagu-lagu melankolis dalam mobil. Kita ikut larut, hanyut dalam sedih, tapi jarang tergerak untuk menulis ulang nada-nada baru dari perjalanan ini.