gbm.my.id – Di balik foto-foto ini, ada kisah yang tak sekadar gambar. Kisah ini bukan sekadar tentang seorang anak difabel, tetapi tentang perjalanan hidup penuh tekad dan keberanian. Lahir di kampung, tumbuh di berbagai kota, hingga akhirnya menetap dan bekerja di Kupang.
Setiap perjalanan memiliki impian yang mendasarinya. Dulu, ketika bekerja di Kupang, transportasi bukanlah hal yang mudah. Ojek masih langka, apalagi ojek online yang saat ini menjamur. Kala itu, saya selalu diantar-jemput oleh istri, keluarga, atau sahabat.
Di atas kendaraan, saya sering berfilsafat sendiri. Bertanya dan menjawab dalam hati:
“Kapan ya, saya bisa membonceng istri? Kapan saya bisa membawa kendaraan sendiri?”
Pertanyaan itu terus bergelayut, bahkan muncul pertanyaan-pertanyaan yang tampak mustahil. Hingga suatu ketika, situasi berubah. Istri harus bekerja di Ende, sementara saya tetap bertugas di Kupang. Pertanyaan lama kembali mengusik:
Bagaimana saya bisa berangkat ke kantor? Naik kendaraan apa?
Suatu hari, sebelum istri berangkat ke Ende, kami berpapasan dengan seorang difabel yang mengendarai motor roda tiga di Jalan El Tari. Kami mengejar pria itu, berharap mendapatkan kontaknya untuk sekadar bertanya tentang modifikasi motor seperti miliknya.
Pria baik hati itu mengajak kami ke rumahnya. Dari ceritanya, saya mengetahui bahwa motornya dirancang di Jawa. Saya pun meminta izin untuk mencoba motornya. Dengan senang hati, ia mengizinkan saya melakukan uji coba di sekitar Walikota.
Saya sempat menawar motor tersebut, tetapi masih ragu. Di satu sisi, saya sangat membutuhkannya. Di sisi lain, ada keterbatasan dana. Kami memiliki motor yang masih bisa dimodifikasi.
Kemudian, saya berbincang dengan Om Blas Bon, pegawai Koperasi Adiguna. Saya mengutarakan niat untuk memodifikasi motor. Beberapa hari kemudian, om Blasius Bon melaporkan hasil penelusurannya ke beberapa bengkel. Salah satu bengkel menawarkan solusi dengan tambahan ban kecil, sementara bengkel lain siap menerima tantangan tanpa banyak penjelasan. Saya memilih yang kedua.
Motor diangkut ke bengkel yang terletak di sudut perempatan El Tari. Di sana, saya bertemu dengan seorang teknisi bernama Erick Balo. Ia yakin bisa memodifikasi motor sesuai keinginan saya dalam waktu dua hari kerja. Tanpa ragu, ia langsung melepas arm dari body mesin dan ban belakang. Saya sempat khawatir saat melihatnya memotong bagian motor, tetapi saya memilih percaya bahwa ia akan melakukan yang terbaik.
Proses modifikasi berjalan lancar dan selesai dengan biaya sekitar enam juta rupiah. Harga yang sepadan dengan keahlian dan keberanian Erick dalam menerima tantangan ini. Sepulang kerja, saya mampir ke bengkel untuk latihan. Dibantu asistennya, saya berlatih di GOR Oepoi hingga benar-benar bisa mengendalikan motor.
Pukul 20.00 WITA, saya pulang ke asrama dengan pengawalan keponakan Om Blas dan seorang anak asrama. Kami memilih rute panjang—melewati Jalan W.J. Lalamentik, BI, Katedral, lalu menyusuri Jalan Timor Raya hingga akhirnya tiba di Asrama St. Thomas Aquinas. Perjalanan yang bukan sekadar perjalanan, tetapi sebuah simbol perjuangan.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa impian harus diungkapkan. Selalu ada yang mendengar, selalu ada tangan yang terulur untuk membantu. Entah itu keluarga, sahabat, kenalan, atau bahkan orang asing. Namun, di balik semua itu, ada “Tangan yang Tak Kelihatan”—Tuhan Yang Maha Kuasa—yang selalu menuntun setiap langkah menuju impian kita.