gbm.my.id – Waktu perlahan merambat menuju persimpangan senja. Kota Mbay yang siang tadi diterpa hawa panas kini mulai teduh. Angin sepoi-sepoi membelai kulit, menandakan saat yang tepat untuk meninggalkan hiruk-pikuk kota dan menuju sebuah destinasi wisata di perbatasan Nagekeo – Ngada. Di sana, berdiri kokoh sebuah bukit menjulang, dilumuri sabana luas dan bebatuan hitam pekat. Bukit ini, seperti seorang kesatria gagah, mengawal lautan utara Flores dengan angkuh dan megah.

Namanya Bukit Weworowet. Sebuah kebanggaan masyarakat Mbay, ikon yang telah lama menghiasi berbagai media, baik televisi maupun media sosial. Spot ini kerap menjadi tujuan wisatawan yang ingin mengabadikan keindahan alam Nagekeo dalam bingkai kamera.

Kami berangkat dalam tiga kendaraan. Saya, Yanto, Unun, dan Aven menumpang mobil yang dikendalikan oleh Bapak Thomas Koba, Kepala BK-Diklat Kabupaten Nagekeo. Sepanjang perjalanan, Bapak Thomas bercerita tentang pengalamannya melintasi berbagai jalur darat, mulai dari Negeri Lorosae hingga Kupang, dari Malang hingga Mbay. Ia menikmati setiap perjalanan yang dijalaninya. Sementara itu, rombongan lain berada di mobil berbeda, bergabung dengan pegawai BK-Diklat Nagekeo.

Perjalanan diiringi alunan ‘lagu pesta’, sebutan saya untuk lagu-lagu yang kerap diputar dalam perayaan di Flores. Dengan semangat, Bapak Thomas mempromosikan pesona Nagekeo, meyakinkan kami bahwa waktu terbaik mengunjungi Weworowet adalah saat musim hujan ketika sabana menghijau atau saat kemarau ketika rerumputan menguning keemasan.

Namun, kali ini sabana sudah berubah menjadi kecoklatan. Beberapa bagian tampak hangus, mungkin akibat si jago merah yang mengamuk. Meski begitu, pesona Weworowet tak luntur. Ia tetap memancarkan daya tarik yang membuat siapa pun yang melewatinya tergoda untuk berhenti sejenak dan mengabadikan momen.

Kami pun tak luput dari godaannya. Turun dari mobil, kami berjalan menuju kaki bukit yang menjuntai hingga ke tepi jalan Trans Pantura Flores. Berdiri di hadapannya, kami seolah bersanding dengan seorang kesatria yang tegap. Sayangnya, mendung menggelayut, membuat puncak Weworowet tampak lebih gelap.

“Biasanya terang sekali di puncak,” kata Bapak Thomas.

“Mungkin karena mendung,” saya menimpali.

Tak lama, Bapak Thomas mengajak kami ke pabrik garam. “Sepuluh menit saja,” katanya. Ia memang lihai membaca waktu. Benar saja, dalam waktu singkat, kami sudah tiba di gerbang pabrik. Sayang, jam kerja sudah berakhir, sehingga kami hanya diperkenankan melihat tambak garam dari kejauhan. Tak ingin kehilangan momen, kami pun berfoto dengan latar tambak garam sebelum kembali ke Weworowet.

Sesampainya di sana, rombongan lain telah tiba lebih dulu. Pak Im, Pak Anis, Pak Al, Pak Azis, Novi, Kiki, dan rekan-rekan BK-Diklat Nagekeo sedang menikmati suasana. Kami pun bergabung, menambah kenangan dalam koleksi perjalanan kami.

Perjalanan berlanjut menuju Mbay. Tak jauh dari Weworowet, mobil terdepan berbelok ke kanan dan berhenti di sebuah rumah makan dengan lampu hiasan taman yang redup. Bangku-bangku kayu dengan sentuhan artistik tertata rapi, sementara di salah satu sudut terpampang menu andalan: daging domba.

Dalam bahasa Mbay, ‘nake lebu’ berarti daging domba. Mbay memang dikenal sebagai habitat kawanan domba, menjadikannya salah satu daerah yang identik dengan kuliner khas ini. Sejak awal, Bapak Thomas telah menggoda kami dengan pertanyaan, “Pernah makan daging domba?”

Jawaban kami serempak, “Belum.”

Kini, tibalah saatnya mencicipi hidangan favorit Mbay. Warung ini pernah viral di berbagai grup media sosial warga Nagekeo, sejalan dengan upaya pemerintah mempromosikan pariwisata daerah. Ketika kami tiba, suasana cukup lengang, tetapi aroma lezat sudah menggoda selera. Pak Im mengakui bahwa mereka telah memesan sejak sehari sebelumnya.

Kami duduk melingkar di beberapa meja bundar. Tak perlu waktu lama sebelum hidangan tersaji: sate nake lebu, sup domba, dan nasi hangat. Dagingnya lembut dan empuk, tak menyisakan aroma menyengat. Kata Pak Im, kandungan kolesterolnya rendah, jadi tak perlu ragu untuk menyantap sepuasnya.

Tanpa malu-malu, kami menambah porsi. Kesederhanaan bumbu tak mengurangi kelezatannya. Makan sembari bercengkerama, kami lupa waktu hingga akhirnya harus beranjak pulang. Pekerjaan teman-teman assessor masih menanti.

Sebelum berpisah, Bapak Thomas menyinggung rencana membuka cabang warung nake lebu di Danga. “Bagus kalau mereka buka di Danga,” katanya.

Saya bertanya-tanya, apakah itu keputusan yang menguntungkan? Di satu sisi, kehadiran warung di jantung kota lebih mudah dijangkau. Namun, di sisi lain, warung nake lebu dan Bukit Weworowet seharusnya menjadi satu paket wisata kuliner yang tak terpisahkan.

Pemikiran saya melayang ke Townsville, Australia. Saya teringat Tea Heritage Rooms di belantara Hervey Ranges. Sebuah kafe kayu yang menyajikan kopi khas dengan harga fantastis—50 dolar Australia per cangkir, sepuluh kali lipat harga cappuccino biasa. Meski mahal, kafe ini selalu ramai. Orang datang bukan hanya untuk menikmati kopi, tetapi juga suasana.

Bayangan ini saya proyeksikan ke Weworowet dan nake lebu. Andai konsep wisata terpadu diterapkan, keduanya bisa menjadi destinasi utama. Weworowet sebagai magnet keindahan alam, dan nake lebu sebagai sajian pelepas lapar. Para pelintas jalur Pantura Flores bisa singgah, menikmati alunan musik country, sabana yang luas, serta hewan ternak yang berkeliaran bebas. Seperti melintasi Texas, Amerika Serikat.

Terkadang, yang mahal bukan sekadar barang atau jasa yang dibeli, tetapi suasana yang menyertainya. Nake lebu mungkin setara dengan se’i Baun dari Timor, tetapi pengalaman menikmatinya di Mbay memiliki nilai yang tak bisa diukur dengan uang.

Terima kasih kepada Bapak Thomas yang rela menyetir sendiri dan menanggalkan atribut kepangkatannya demi perjalanan ini. Terima kasih pula kepada rekan-rekan BK-Diklat Nagekeo yang setia menemani. Seminggu sudah kami di sini. Kini saatnya kembali ke Kupang.

Sayonara, Molo.***