gbm.my.id – Langit Larantuka mulai meredup, menyisakan semburat cahaya di ujung cakrawala. Riuh rendah di luar hotel menarik perhatian saya. Suara gemuruh yang berasal dari jalan utama Kota Larantuka memancing rasa penasaran. Ketika melangkah keluar, tampak barisan pelajar putri dari SMP, SMA, dan SMK sekota Larantuka tengah berbaris rapi, mengikuti lomba gerak jalan. Masyarakat memenuhi trotoar, berdiri atau duduk, menyaksikan barisan demi barisan yang melintas dengan langkah tegap dan penuh semangat.
Hingga pukul 16.30, perlombaan pun usai. Keramaian mulai surut, dan saya kembali ke hotel dengan hati yang masih dipenuhi euforia. Namun, keinginan untuk menikmati suasana sore hari semakin kuat. Keinginan “tapeleuk”—istilah dalam bahasa daerah yang berarti jalan-jalan santai—menyeruak. Ketika saya utarakan kepada teman-teman, mereka pun menyambutnya dengan antusias.
Seorang teman dari Pustekomdik Jakarta ingin menikmati sunset sambil menyeruput kopi. James, Awis, dan Joan dari Dinas PPO Flores Timur pun segera merekomendasikan pantai di arah bandara. Mereka, sebagai ‘tuan tanah’, tentu lebih tahu tempat-tempat eksotis yang patut dikunjungi. Meski waktu sudah beranjak petang, kami tetap berangkat. Rombongan kami terbagi dua—beberapa menumpang mobil, sementara yang lain mengendarai motor.
Mobil kami melaju meninggalkan Hotel Fortuna, menyusuri pesisir Kota Renha. Perjalanan ini membawa kami ke Ujung Aro, namun setibanya di sana, gerbangnya tertutup rapat. Kami pun memutar arah menuju Hotel Asa. Dalam perjalanan, saya diliputi penyesalan. Seandainya kami berangkat lebih awal, mungkin pemandangan pantai yang indah masih bisa kami nikmati dalam cahaya senja. Tapi di satu sisi, rasa penasaran membuat saya terus melangkah.
Tiba di Hotel Asa, hati saya bertanya-tanya, “Apa yang menarik dari hotel ini?” Namun, rasa penasaran itu segera terjawab saat kami melewati lobi dan berjalan ke halaman belakang. Hotel ini ternyata memiliki halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Sebuah kolam renang berukuran sedang terletak di dekat pagar pembatas antara hotel dan pantai. Namun, yang paling mengejutkan adalah sebuah perahu tua yang berlabuh di bibir pantai.
Perahu itu bukan sekadar perahu biasa. Ia telah dimodifikasi menjadi bangunan unik bagi pengunjung hotel. Dek perahu berfungsi sebagai tempat menikmati sunset atau bersantap, sementara di dalamnya terdapat sebuah kamar mewah. Resepsionis hotel bercerita, kamar di dalam perahu ini sering digunakan oleh pasangan pengantin baru untuk berbulan madu. Sebuah konsep yang luar biasa menarik!
Dari dek perahu ini, pemandangan Pulau Adonara terbentang di depan mata. Sayangnya, karena hari sudah gelap, hanya samar-samar siluetnya yang terlihat. Namun, suasana malam ini tetap memiliki pesonanya sendiri. Suara debur ombak yang lembut, hembusan angin pantai, serta aroma kopi yang mulai disajikan, menciptakan harmoni yang sempurna.
Awis memesan kopi, teh, dan penganan khas Hotel Asa. Sementara itu, saya kembali ke resepsionis, menggali lebih dalam tentang hotel ini. Kembali ke perahu, secangkir kopi Hokeng sudah tersaji di meja, ditemani pisang keju yang menggoda selera. Saya menyeruput kopi itu pelan-pelan, merasakan kehangatan yang menyusup ke dalam diri.
Eksotisme dan romantisme berpadu dalam satu malam yang sempurna. Duduk di atas perahu yang tak lagi berlayar, saya merasa seperti berpetualang di daratan. Kota Renha memang menyimpan pesona. Selatnya yang teduh, pantainya yang menenangkan, dan secangkir kopi Hokeng yang menghadirkan sensasi tersendiri. Di malam itu, segala penyesalan karena datang terlambat sirna. Yang tersisa hanyalah kepuasan dan kenangan yang akan terus melekat di hati.
Sambil menghela napas panjang, saya pun tertawa kecil. Pikiran saya melayang ke puncak Ile Mandiri, seolah-olah kopi ini membawa saya ke sana. Ah, mungkin petualangan berikutnya akan mengantarkan saya ke sana. Tapi untuk malam ini, biarlah saya menikmati setiap detik kebersamaan di atas perahu yang telah berlabuh ini.