gbm.my.id – Hari Jumat, 27 Juni 2019, adalah momen yang penuh makna bagi kami di BKD. Acara pelepasan purna bhakti Om Maxi Djehadun tak hanya sekadar seremonial, tetapi lebih kepada ruang untuk menghargai perjalanan hidup dan pengabdian yang telah beliau berikan selama bertahun-tahun.

Pernahkah Anda merasa terkesan oleh seseorang yang tampaknya tak menua meski usianya sudah memasuki batas pensiun? Itulah yang saya rasakan saat pertama kali mendengar kabar bahwa Om Maxi akan pensiun bulan Juli ini. Saya tak sendirian dalam pandangan ini. Pak Guido Joachim Laga Uran, Kasubid Jabatan Struktural, dan ibu Henderina S. Lasikodat, Plt. Kepala BKD, juga mengungkapkan hal yang serupa.

Namun, benarkah usia Om Maxi sudah mencapai waktu purna bhakti? Dua minggu sebelumnya, saya sempat bertemu dengan mantan atasan saya, Pak John Hani, di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau sempat menyebutkan ada pegawai BKD yang pensiun, dan yang dimaksudkan ternyata adalah Om Maxi. Tapi, ada hal yang mengusik pikiran saya. Apakah Om Maxi benar-benar berasal dari Manggarai, seperti yang disebutkan Pak John? Sejak Om Maxi dan kawan-kawan KORPRI bergabung di BKD, saya tidak pernah menanyakan asal-usul beliau.

Reaksi saya saat membaca berita tentang acara pelepasan beliau cukup beragam. Pertama, pertanyaan mantan atasan saya akhirnya terjawab: Om Maxi yang dimaksud. Tapi, sejujurnya saya agak ragu, apa benar beliau berasal dari Manggarai? Saya sempat mengingat-ingat pegawai BKD asal Manggarai, namun sepertinya tidak ada yang mencapai usia pensiun secepat Om Maxi. Bahkan, jika melihat penampilan fisiknya—atau seperti yang sering dikatakan Pak Guido, “casing” Om Maxi—beliau tampak jauh lebih muda dari usia kronologisnya. Ini menjadi sebuah inspirasi bagi kami semua untuk menjaga kesehatan agar tetap segar hingga masa purna bhakti nanti.

Penuh Tanda Tanya, Namun Tak Terburu-buru Menilai

Pada hari pelepasan itu, saya sempat menyapa Om Maxi. “Om mau pensiun, ya?” saya bertanya. Beliau pun mengangguk, “Ya, bulan Juli ini.” Di samping kami, berdiri Om Blasius Nou, Kasubid Mutasi dan Pensiun Pegawai, yang menyahut, “Saya dua tahun lagi pensiun.”

Tentu saja, dalam hati saya, saya berpikir, seharusnya Om Blasius yang lebih dulu pensiun daripada Om Maxi (maaf ya, Om Blas). Tapi, saya tak terlalu lama terlarut dalam pikiran itu, dan justru teralihkan oleh obrolan ringan kami yang melanjutkan ke hal-hal lain.

Pagi itu, sebelum apel, saya melihat Om Maxi mengenakan sarung yang warnanya sangat mencolok. “Om Maxi, hebatnya ibu-ibu di kampung bisa menenun kain seperti itu. Daya imajinasi mereka luar biasa sehingga bisa menghasilkan komposisi warna yang indah dipandang mata,” ujar saya. Om Maxi menjawab dengan senyum khasnya, “Ya, ini tenun asli dari TTU. Ini hanya ada di kampung kami.”

Entah mengapa, setelah itu, saya kembali teringat pertanyaan yang sempat mengguncang pikiran saya dua minggu lalu: Apakah Om Maxi sebenarnya berasal dari Manggarai atau Kefa? Namun, saya memutuskan untuk membiarkan pertanyaan itu berlalu, tanpa perlu mencari jawabannya lebih jauh. Saya sadar, tak semua hal perlu dijelaskan, dan waktu akan memberikan jawabannya.

Pelepasan Purna Bhakti: Lebih dari Sekadar Tradisi

Acara pelepasan Om Maxi, meski sederhana, memberi pesan mendalam tentang pentingnya budaya organisasi yang terus dijaga. Ibu Henderina S. Lasikodat mengatakan bahwa tak ada emas dan perak yang kami miliki selain acara sederhana ini. Sederhana, namun bermakna. Sesuatu yang kecil dan rutin, seperti acara pelepasan purna bhakti, ucapan selamat ulang tahun, atau apresiasi kepada sesama, adalah bagian dari budaya yang perlu terus dipelihara.

Sama seperti yang disampaikan ibu Maria Ondok, Kabid Disiplin dan Korpri, pada apel pagi, yang mengingatkan kita tentang pentingnya tradisi ucapan ulang tahun dalam apel pagi. Dalam pengalaman saya, hal serupa saya temui di Holy Spirit Parish Townsville, Australia, di mana umat yang merayakan ulang tahun akan dipanggil ke altar untuk menerima kartu ucapan dan doa. Hal ini memberikan contoh nyata betapa sebuah kebiasaan positif bisa membangun suasana keharmonisan dalam organisasi.

Pak Flafianus Dua, Kabid Pengembangan Pegawai, juga dengan spontan meminta Maria Y. Kiak untuk berbicara dalam bahasa Inggris selama dua menit, sebuah langkah kecil namun sangat berarti dalam konteks mengembangkan kemampuan diri. Setiap Rabu, “English Day” menjadi ruang bagi kami untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris, dan hal-hal kecil seperti ini, jika terus dipelihara, akan menjadi bagian dari budaya organisasi yang berkembang.

Menghargai Perjalanan dan Membangun Budaya Organisasi

Berkaca dari acara pelepasan Om Maxi, saya jadi semakin yakin bahwa budaya organisasi bukan hanya soal sistem atau rutinitas pekerjaan. Lebih dari itu, budaya organisasi adalah tentang bagaimana kita menghargai perjalanan setiap individu, memberikan apresiasi, dan merawat hubungan yang telah terbina. Acara pelepasan PNS purna bhakti bukan hanya sebuah seremonial, tetapi sebuah ruang untuk memberi penghargaan dan mengenang jasa-jasa yang telah diberikan.

Setahu saya, BKD adalah salah satu tempat yang konsisten melaksanakan tradisi ini, dengan acara-acara sederhana yang menyentuh hati. Itulah yang menjadi bagian dari “budaya organisasi” yang berkembang di sini.

Untuk Om Maxi, saya ucapkan selamat memasuki dunia baru setelah pensiun. Terima kasih atas pengabdian dan kebersamaannya selama ini di BKD. Semoga perjalanan baru ini membawa kebahagiaan dan kedamaian.

Adios, Amigo.