gbm.my.id – Saat pertama kali melintas di jalan utama Kota Larantuka, pandangan saya tertuju pada sebuah masjid megah yang tengah dipugar. Masjid Raya Syuhada berdiri kokoh di tengah kota, memancarkan aura yang mengundang. Timbul niat untuk singgah sejenak, namun waktu terus mendesak, dan saya pun memilih melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan, menanti fajar merangkak dari punggung Pulau Adonara.

Namun, niat itu tetap tersimpan dalam hati. Sekembali dari Oka, hasrat untuk mengunjungi masjid itu kembali menguat. “Saya harus mampir dan berfoto di pelatarannya,” batin saya.

Sebelum itu, saya menyempatkan diri mengunjungi beberapa ikon Kota Reinha, seperti Patung Reinha Rosari dan Kapela Tuan Ana. Om Niko, sahabat perjalanan saya, sempat menawarkan kunjungan ke katedral, tetapi saya menolaknya. Saya ingin menyimpannya untuk perjalanan tugas berikutnya.

Perjalanan kembali dari Oka tidak semulus yang dibayangkan. Jalanan penuh sesak oleh peserta jalan santai perayaan 17 Agustus. Kebanyakan dari mereka adalah pelajar dan pegawai negeri sipil Kabupaten Flores Timur. Di sebelah saya, seorang pengojek mengeluh, “Tiap tahun sama saja. Tidak ada kegiatan lain lagi, kah?”

Saya tidak tahu pasti apa yang membuatnya kesal. Apakah karena perjalanan terganggu atau karena bosan dengan rutinitas perayaan yang tak banyak berubah? Hanya dia yang tahu jawabannya.

Tanpa menghiraukan keluhan itu, saya dan Om Niko menyalip peserta jalan santai menuju Kapela Tuan Ana. Saat melewati tikungan di pojok Katedral, seorang polisi menghentikan kami dan mengingatkan untuk mengenakan helm. Sadar akan keselamatan, saya segera mengenakannya, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Setelah dari Kapela Tuan Ana, saya meminta Om Niko untuk mampir ke Masjid Raya Syuhada sebelum kembali ke hotel. Masjid ini berdiri di jantung kota, dikelilingi pemandangan yang memesona. Dari bentuk bangunannya, tampak jelas bahwa masjid ini sedang direnovasi. Dengan arsitektur modern yang berpadu latar belakang Gunung Ile Mandiri, kemegahannya semakin terpancar.

Larantuka menawarkan pemandangan unik. Dari bibir pantai atau tengah laut, terlihat menara-menara gereja menjulang tinggi, berdampingan dengan kubah masjid yang megah. Ketika lonceng gereja berdenting, dan panggilan adzan menggema, kota ini menghadirkan harmoni yang indah—sebuah cerminan toleransi yang nyata.

Di Larantuka, suara adzan dan dentingan lonceng gereja bukanlah sekadar panggilan ibadah, tetapi juga melodi kebersamaan. Kota kecil ini mengajarkan bahwa keberagaman bisa berjalan seiring dalam damai. Sebuah pelajaran berharga tentang harmoni di tengah perbedaan.***