Jumat pagi itu, matahari belum sepenuhnya tinggi ketika saya melangkah keluar dari hotel, bersiap memulai petualangan kecil di Renha. Tak ada kesepakatan awal dengan Om Niko, pengemudi ojek yang akan menemani perjalanan saya. Ia tampak pasrah, mengikuti ke mana pun saya hendak pergi. Mungkin ini perjalanan yang tak biasa baginya, tetapi bagi saya, setiap tikungan jalan adalah cerita yang menunggu untuk ditemukan.

Setelah menikmati pemandangan kota dan berswafoto di beberapa sudut menarik, saya meminta Om Niko mengantarkan saya ke sumber air panas yang, menurut James—seorang rekan dari Dinas PPO Kabupaten Flores Timur yang saya temui di hotel—terletak di sebelah barat kota. Sekilas, ekspresi terkejut melintas di wajah Om Niko. Ia tidak menyangka tujuan saya sejauh itu. Tangannya refleks memeriksa sisa bensin di tangki motor sebelum akhirnya mengangguk setuju.

Kami melanjutkan perjalanan. Setibanya di Waibalun, saya meminta Om Niko belok kiri menuju pelabuhan ferry. Pemandangan di sana luar biasa. Gunung Ile Mandiri berdiri megah sebagai latar belakang kota Renha, sementara laut yang jernih dan tenang membentang luas di hadapan kami. Di sebuah pulau mungil, sebuah patung Yesus berdiri kokoh, seakan menjaga ketenangan perairan. Suara “tong, teng” dari kapal ferry yang berlabuh menambah atmosfer damai pagi itu. Saya segera mengabadikan momen ini, tentu saja dengan bantuan fotografer dadakan sekaligus pemandu saya—Om Niko, seorang pria asal Solor yang besar di Kupang.

Perjalanan menuju sumber air panas mengingatkan saya pada ajang Tour de Flores (TdF) 2016. Saya terbayang foto-foto peserta yang beredar di media sosial, berlatar belakang jalur berliku dengan panorama Lewo Tana yang menakjubkan. Seolah membaca pikiran saya, Om Niko tiba-tiba menghentikan motor dan menyarankan saya untuk turun. “Foto di sini bagus, latarnya jalan trans Flores dan Pulau Solor di kejauhan,” katanya. Saya menurut, dan benar saja—pemandangannya sungguh memesona.

Kami kembali melaju ke arah barat. Sepanjang jalan, saya dan Om Niko bertukar cerita. Ia berbagi tentang kehidupannya sebagai buruh proyek, perjalanannya menemukan cinta dengan seorang wanita Ende, dan akhirnya menetap di Nagi. “Daerah di sini subur sekali. Air berlimpah,” ujarnya sambil menunjuk hamparan hijau yang terbentang di sekitar kami.

“Apa nama daerah ini, Om?”

“Oka.”

Oka, tanah subur di bawah kaki Ile Mandiri, tempat di mana sumber air bagi kota Larantuka berasal. Sepanjang jalan, terlihat beberapa titik pengisian air yang menjadi bukti kelimpahan sumber daya di daerah ini.

Akhirnya, kami tiba di tempat pemandian air panas Oka. Area ini berpagar rapi dengan fasilitas lopo dan arena bermain anak. Namun, suasana masih sepi. Gerbang terkunci rapat. “Biasanya dibuka pukul 09.00,” kata Om Niko. Untuk memastikan, saya bertanya kepada seorang wanita setengah baya di sekitar.

“Tanta, jam berapa tempat ini dibuka?”

“Jam 08.00 baru dibuka. Datang saja sekitar jam 09.00.”

Saya melirik jam di ponsel—baru pukul 07.00. Waktu masih panjang. Saya pun meminta Om Niko mencari akses lain menuju sumber air panas yang terletak di tepi pantai. Ia segera memarkir motor dan mengajak saya melewati semak-semak. Kami menemukan sebuah selokan kecil yang mengalir dari jalan raya hingga ke pantai.

“Itu juga air panas,” ujar Om Niko sambil menunjuk ke arah selokan.

Saya terus melangkah hingga mencapai muara, di mana sebuah perahu motor tua terdampar, karam di bibir pantai. Saya mengabadikan momen itu sebelum kembali ke selokan dan membasuh muka dengan air yang hangat-hangat kuku. Tak ada tempat pemandian resmi di sini, tetapi saya tetap menikmati suasana. Meski tempat pemandian utama masih tertutup, pengalaman ini sudah lebih dari cukup.

Ketika kami kembali ke Renha, motor melaju dengan kecepatan yang sama, diiringi obrolan yang kian akrab. Kepercayaan dan persahabatan kecil terjalin dalam perjalanan yang tak terduga ini.

“Terima kasih, Om Niko,” batin saya. Petualangan ini mungkin telah usai, tetapi kenangan dan pelajaran dari perjalanan ini akan selalu hidup dalam ingatan.